Selasa, 12 Mei 2015

Anak dalam Budaya Batak

Anak adalah anugerah terindah yang sering membawa persoalan dalam keluarga. Kehadiran mereka selalu dinanti—nanti. Bahkan setiap kebudayaan memberikan upacara tersendiri dalam masa penantian hingga kelahiran seorang anak. Namun, acap kali itu membawa persoalan. 

Sebelum pernikahan, sepasang calon suami istri umumnya telah merencanakan berapa anak yang akan mereka miliki. Hingga pemerintah Indonesia di zaman Soeharto pernah merencanakan KB (Keluarga Berencana).  Dua anak cukup. Itulah slogan utama.

Persoalan anak menjadi lebih rumit apalagi kalau berkaitan dengan budaya atau adat istiadat setempat. Di berbagai budaya, memiliki anak mendapat perhatian khusus. Di dalam budaya Batak khususnya Batak Toba, anak dimengerti sebagai sebuah kekayaan. Lagu gubahan Nahum Situmorang “Anakhon hi do hamoran di ahu” menggambarkan secara jelas filosofi ini.

Bila dilihat lebih dalam lagi dalam budaya Batak Toba tentang anak,  Anak laki-laki sering mendapat sorotan utama. Kehadiran anak laki-laki dalam keluarga Batak Toba sungguh sangat mendapat perhatian. Bagaimana tidak. Keluarga tanpa anak laki-laki dianggab sebuah aib dan kegagalan. “Hagabeon”, salah satu kata dari dua kata lainnya (Hamoraon, Hasangapon) menunjukkan hal ini. Hagabeon berarti memiliki keturunan khususnya anak laki-laki.

Di tengah masyarakat modern saat ini, ketegangan antara punya anak laki-laki atau tidak menjadi persoalan yang sangat penting dalam keluarga. Banyak keluarga muda Batak Toba sering tidak lagi memperhatikan ini bahkan menolak keharusan anak laki-laki di tengah keluarga mereka.

Jadi, kok bisa anak laki-laki begitu penting?

Pertanyaan ini pernah dijawab oleh seorang teman, karena orang Batak Toba itu adalah suku patrilinear. Benar. Batak Toba adalah suku dengan sistem kekeluargaan patrilinear. Marga yang akan dimiliki oleh anak-anak adalah marga bapaknya. Dengan demikian, tidak ada anak berari marga tidak akan diteruskan lagi dari seorang Bapak.

Selain itu, anak laki-laki menjadi penerus nama bagi leluhurnya. Lihat saja. Ketika seorang lelaki memiliki anak, namanya akan berganti. Bukan lagi Si Karno Manullang, tetapi Pa. Suharto Manullang karena anaknya bernama Suharto. Ketika Suharto memiliki anak dan diberi nama Habibie, maka nama Si Karno bukan lagi Pa. Suharto, tetapi Op. Habibie. Dan, nama itulah yang akan dikenakan di salib kuburannya ketika dia mati.

Vergouwen pernah berpendapat. “Dalam pengaturan setiap adat dan kebiasaan yang berlaku dimasyarakat Batak, kaum laki-laki berperan dalam menentukan jalannya suatu adat karena masyarakat Batak merupakan penganut sistim garis keturunan Patriakal, dimana hak menggantikan menurut alur laki-laki secara langsung terwujud melalui kelahiran anak laki-laki, karena anak laki-laki adalah pelaksana wajar dari kesinambungan keturunan dari jalur bapak” (Vergouwen, 1986).


Penjelasan di atas menegaskan bahwa harapan hadirnya anak laki-laki dalam budaya Batak sungguh tak terbantahkan. Ini bukan soal tidak sesuai zaman. Ini adalah soal pentingnya sebuah penerus dalam garis keturunan. Namun, harus ditegaskan bahwa anak perempuan juga sangat penting. Kehadiran keduanya adalah kesempurnaan Hagabeon dalam keluarga Batak Toba.


2 komentar:

  1. Horas tulang.... boi a tulisan ta i... alai paragraf terakhir, bahasana hurang setuju au bah.... molo bai dengan bahasa lebih merangkul, hehehe.... Salam and slamat berkarya.

    BalasHapus
  2. Horas ma tutu Abang... di kalimat taringat tu Boru i do Bang? heheheh hurang memang.. Gabe asing artinya ate, seakan anak perempuan tidak penting. Nungnga hukoreksi be Abang. Terlalu fokus mungkin tu Anak laki-laki.. Alai hujelason do Kesempurnaan dari Hagabeon ketika Putra dan Putri hadir dalam keluarga.

    Mauliate Godang da Bang.. Selamat berkarya ma di hita Bang...

    BalasHapus