Senin, 05 Januari 2015

Religi Batak Toba: Berawal dari Desa Sianjur Mula-Mula

Masyakarat Batak sendiri terdiri dari lima puak: Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Mandailing, dan Batak Pakpak. Kelima puak ini tinggal dalam lingkungan mereka masing-masing dan pada umumnya daerahnya bersentuhan langsung dengan Danau Toba. Dari segi historis, umumnya semua puak ini mengakui bahwa mereka berasal dari tempat yang sama yang dikenal dengan desa Sianjur Mula-mula. Nilai historis yang sangat tinggi ini menjadikan desa ini sangat penting bagi orang Batak secara keseluruhan. Nilai tersebut sangat kuat dalam mitologi penciptaan menurut Religi Batak yang selalu menjadi rujukan untuk memahami masyarakat Batak secara keseluruhan (Sinaga, 2014; Tobing, 1965; Hutagalung, 1991; Tampubolon, 2002

Bermula dari Desa Sianjur Mula-mula

                      Gbr.1. Gunung Pusuk Buhit. Di ambil dari Penatapan Tele.

Secara geografis, desa ini berada 20 30’ - 2045’LU; 98030’ - 98045’ BT dan 1080 m di atas permukaan Laut dengan luas 140, 24 km2. Diapit oleh dua lembah yaitu Lembah Sagala dan Lembah Limbong di sebelah barat daya Danau Toba menjadikan desa ini lebih didominasi oleh sumber-sumber air (mual). Hampir semua rumah penduduk desa ini berada di kaki lembah. Di sepanjang tepi desa, yang terlihat hanyalah tebing yang menghubungkan antara desa ini dengan desa-desa di daerah Kab. Dairi dan Kab. Karo. Dari sudut struktur pemerintahan negara, Sianjur Mula-mula merupakan salah satu kecamatan yang berada dalam wilayah Kabupaten Samosir, provinsi Sumatera Untara. Berada pada jarah 14 km dari ibu kota Kab. Samosir, Pangururan, desa ini tergolong cukup dekat dari Ibu kota Kabupaten.
Kecamatan Sianjur Mula-mula memiliki 11 desa: Desa Boho, Desa Aek Sipitu Dai, Desa Sngkam, Desa Sari Marihit, Desa Sianjur Mulamula, Desa Ginolat, Desa Huta Ginjang, Desa Siboro, Desa Huta Gurgur, Desa Bonan Dolok, Desa Hasinggan. Sedangka, ibu kota kecamatan adalah Sagala. Menurut data dari Badan Pusat Statitik (BPS) Kabupaten Samosir, pada tahun 2008 Kecematan Sianjur Mula-mula dihuni oleh 11.098 jiwa penduduk: 5.610 perempuan, dan 5.488 laki-laki. Dari sudut pandang agama, mayoritas penduduk di desa ini telah memeluk salah satu agama yang diakui di Indonesia. Menurut Data yang diberikan oleh BPS, pada tahun 2008, Kristen: 5.336 jiwa; Katolik, 4.123 jiwa; Islam: 8 jiwa; lainnya: 20 jiwa. Sementara itu, ada 25 gedung gereja Kristen, dan 14 gedung gereja Katolik.
Kehidupan di Desa ini tergolong aman dan nyaman. Semua orang yang ditemui sangat ramah. Terbukti dari cara mereka menyambut orang yang baru mereka kenal termasuk peneliti. Mereka masih mempertahankan budaya Batak Toba sebagai warisan leluhur mereka. Walaupun mereka sudah menganut agama Kristen, mereka tetap melakukan upacara-upacara adat yang nota bene diizinkan oleh pemimpin agama. “Bahkan, melihat ritual Batak Toba aja kami dilarang”, tutur beberapa orang informan. Namun, semangat untuk tetap mempertahankan tradisi masih tetap mereka pertahankan. Menurut semua informan, mereka masih pergi ziarah ke Pusuk Buhit dan ke situs-situs penting leluhur Batak Toba, melakukan upacara mangongkal holi (menggali tulang-benulang leluhur), melakukan pernihkan secara kultural. Selain itu, mereka juga masih pergi ke mata air untuk berdoa. Data mengenai aktivitas religiusitas masyarakat akan dipaparkan pada bab selanjutnya.
https://c2.staticflickr.com/4/3322/3509716116_e7af784373.jpg
                             Gbr.:  Desa Sagala, Sianjur Mula-mula

Berdasarkan sejarah oral Batak, Desa Sianjur Mula-mula adalah wilayah permukiman orang Batak Pertama yang disebut Siraja Batak. Sitor Situmorang (2009:11) mencatat, bahwa desa ini “menurut sejarah lisan Toba, yaitu tarombo (silsilah), merupakan desa yang diwariskan dari generasi ke generasi, pemukiman pertama, desa yang terorganisir, didirikan oleh leluhur orang Batak Toba melalui usaha pertanian bersawah dan memakai sistem irigasi. Pemaparan tersebut menggambarkan bahwa sejak awal mula, orang Batak di daerah tersebut sudah membangun hubungan yang akrab dengan alam. Dan juga, tanah dan segala isinya itu yang pertama sekali dikenal. Alam itulah yang pertama yang dengannya manusia Si Raja Batak berelasi.
Dari mitologi penciptaan yang akan dipaparkan pada bab selanjutnya diceritakan bahwa manusia dilahirkan dari/oleh penghuni dunia atas. Mereka yang menurunkan manusia dan semua tumbuhan yang ada di dunia ini. Desa inilah yang menjadi lokus peristiwa itu. Menurut informan, desa inilah yang merupakan Bona Pasogit dari semua orang Batak. Istilah ini memiliki arti sebagai penunjuk tempat dari mana asal suatu bangsa. Tidak ada seorang pun orang Batak entah dia berasal dari salah satu puak tidak mengakui historisitas tempat ini. Karena itulah ada ungkapan yang dituliskan oleh Tampubolon (2002:90):
“Sianjurmula-mula, Sianjur Mulajadi,
Mula ni sombayang, mula ni Sombauasi
Marpansur golang-golang, partapian jabi-jabi,
Parsuapon manogot, paranggiron bodari”.

Terjemahan:
            Tanjung perdana, tanjung awal cipta
            Awal mula sembahyang, awal mula sembah suci
Berpancur gelang, bertempat mandi pohon beringin
Tempat cuci muka di pagi hari, tempat menadikan jeruk purut di malam hari.

Ungkapan ini dijadikan sebagai pengingat akan mitologi penciptaan dan betapa pentingnya tempat ini bagi orang Batak Toba. Dari sanalah semua manusia berasal. Tanpa terkecuali menurut religi Batak Toba.
 Di daerah ini, ada satu gunung yang bagi Orang Batak Toba disebut gunung Pusuk Buhit. Pusuk Buhit berada tepat di pertengahan antara lembah Limbong dan lembah Sagala. Situmorang (2009:23) menjelaskan, “Pusuk Buhit sendiri adalah tempat turunnya Mulajadi Na Bolon ke Bumi”. Gunung ini tidak hanya sebagai awal sejarah, tetapi menjadi pusat religi Batak Toba. Di puncak gunung tersebut orang Batak masih sering melakukan ritual. “Altar bagi doa-doa dan persembahan itu ialah Gunung Pusuh Buhit, sekaligus kiblat (alamat) penghormatan keturunannya kepada roh-roh persemayaman para leluhur” (Situmorang, 2009:23). Arti pentingya lokus ini menjadikan banyak orang sering datang kesana untuk berdoa hingga saat ini.  Di puncak gunung inilah manusia Batak pertama berelasi dengan penghuni dunia atas hingga mereka turun ke lembah Sianjur Mula-mula.
Setelah mereka turun dari gunung Pusuk Buhit, mereka mendirikan sebuah kampung tepatnya di Lembah Sagala. Saat ini, telah dibangun satu museum rumah adat Batak Toba yang dipahami sebagai rumah Siraja Batak dulu. Bangunan ini didirikan di daerah kampung Si Raja Batak (penelitian, Maret). Dari segi jumlah, penduduk yang ada di desa Sagala ini tidak terlalu banyak. Hal itu dapat terlihat dari jumlah rumah penduduk yang telah didirikan disana. Hampir seluruh daerah ini dipenuhi dengan lahan pertanian khususnya persawahan. Persawahan terbentang luas di sepanjang daerah yang datar. Mata air mengalir deras dari hutan yang berada di dataran tinggi Karo dan Dairi.
Historisitas lokus ini yang menjadi alasan utama untuk menjadikannya sebagai locus perhatian. Disanalah pertama sekali religi ekologis Batak Toba lahir karena dengan semua wujud-wujud yang ada disanalah Siraja Batak berelasi secara langsung. Religi ekologis itu diwariskan secara terus menerus dan menjadi pandangan hidup bersama yang dipraktekkan dalam kehidupan bersama. “Kearifan tradisional adalah miliki komunitas” (A. Sonny Keraf, 2002:289). Kearifan itu mereka miliki bersama karena mereka peroleh bersama dan bagikan secara bersama. Mereka melakukannya secara komunal seperti bertani, berburu, menangkap ikan, maupun melakukan ritual. Sianjur Mula-mula adalah mula dari religi ekologis Batak Toba.

Memikirkan kembali makna religi ekologis menjadi sesuatu yang sangat penting dalam memahami kearifan lokal indigenous religion. Pendefinisian ulang ini telah membawa pemahaman baru dan istilah baru, religi ekologis. Paduan keduanya menegaskan suatu keterkaitan yang sangat erat antara religi dan ekologi. Artinya, religiusitas religi lokal hanya dapat dipahami dalam kaitannya dengan pembahasan tentang ekologi. Keduanya menjadi suatu prasyarat yang sangat penting dalam memahami religiusitas manusia dan wujud-wujud yang-lain-dari-manusia. Dengan demikian, alam bukanlah objek dalam sistem relasional, tetapi subjek sebagaimana manusia adanya. Itulah religiusitas masyarakat lokal. Pada bab berikutnya, akan dibahas secara langsung bagaimana religi ekologis telah menjadi suatu cara hidup dalam masyarakat Batak Toba.

Minggu, 04 Januari 2015

Dunia Batak: Budaya & Diskursus

Batak merupakan sebuah istilah yang masih rumit untuk dirumuskan. Penggunaannya sebagai nama atas salah satu kebudayaan yang terletak di sekitar Danau Toba kerap menimbulkan pertanyaan. Apa itu Batak? Pertanyaan ini menelisik ke dalam akal budi untuk selalu direnungkan. Berbagai aspek pendekatan telah dilakukan. Namun, pencapaian belum pernah menyeluruh. Perdebatan di antara pada sarjana pun masih berujung pada munculnya pertanyaan-pertanyaan baru. Dari mana istilah ini? Apakah sebuah pemberian? Atau, muncul dari kesadaran bersama dari orang yang memiliki kebudayaan itu?

Dunia Batak mencoba untuk hadir sebagai sebuah umpan. Mungkin laman ini hanya sebagai titian kecil yang akan menjadi sarana permenungan. Laman ini mencoba untuk mendorong semua pihak untuk kembali merefleksikan Batak itu baik sebagai kebudayaan maupun sebagai dis-kursus. Kenyataan tersebut di atas merupakan sebuah tantangan untuk bersama. 

Mengapa usaha ini penting? Transformasi kebudayaan adalah sesuatu yang sangat lumrah. Kehidupan itu selalu dinamis. Kebudayaan dibentuk oleh organ-organ yang hidup yang membuatnya selalu bergerak. Satu hal yang menjadi persoalan dalam transformasi itu adalah arah itu sendiri. Kemanakah setiap kebudayaan itu melangkah? Tidak dapat dipungkiri, kebudayaan mengandung banyak hal yang harus tetap diperhatikan. Satu unsur yang biasa digunakan adalah Bahasa. Bahasa yang dimiliki oleh sebuah kebudayaan sangat mungkin hilang. Mungkin masih dipakai, tetapi pasti ada yang hilang dari stuktur, moral, nilai, dan juga bentuknya. 

Memperhatikan setiap unsur-unsur dari kebudayaan menjadi semakin penting terutama di era saat ini. Perjumpaan antar kultur merupakan sebuah tantangan bagi setiap pelaku budaya: manusia. Manusia harus mampu menghadirkan dirinya sebagai mahluk yang dilahirkan oleh kebudayaan tertentu. Tanpa jati diri yang kuat, manusia akan gambang tergeser dan terbawa arus zaman. Ini jelas tidak bernada konservatif, kuno dan ketinggalan. Ini adalah sebuah realita. Globalisasi hadir dan membuat semunya menjadi sangat sempit. Dengan gampang kita berelasi dengan orang tanpa mengenal jarak. Namun, apakah manusia siap dengan itu? Apakah orang Batak sudah siap untuk menghadapinya?

Mengangkat kebudayan Batak menjadi diskursus menegaskan suatu cara pandang tersendiri atas budaya ini. Budaya Batak tidak boleh hanya dibicarakan oleh orang Batak saja. Kebudayaan itu sendiri selalu terbuka untuk masuk dalam ruang diskusi, seminar dan perdebatan ilmiah. Hal ini menjadi sangat penting untuk menggali dan terus menggali kebudayaan itu sendiri. Selai itu, diskursus juga mengajak kita untuk berbenah secara pribadi tentang identitas kita sebagai orang Batak.

https://batakculture.files.wordpress.com/2012/03/batak2.gif