Masyakarat Batak sendiri terdiri dari lima puak:
Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Mandailing, dan Batak Pakpak.
Kelima puak ini tinggal dalam lingkungan mereka masing-masing dan pada umumnya
daerahnya bersentuhan langsung dengan Danau Toba. Dari segi historis, umumnya
semua puak ini mengakui bahwa mereka berasal dari tempat yang sama yang dikenal
dengan desa Sianjur Mula-mula. Nilai historis yang
sangat tinggi ini menjadikan desa ini
sangat penting bagi orang Batak secara keseluruhan. Nilai tersebut sangat kuat dalam mitologi penciptaan menurut Religi Batak yang selalu
menjadi rujukan untuk memahami masyarakat Batak secara keseluruhan (Sinaga, 2014; Tobing, 1965; Hutagalung, 1991;
Tampubolon, 2002
Bermula dari Desa
Sianjur Mula-mula
Gbr.1. Gunung Pusuk Buhit. Di ambil dari Penatapan Tele.
Secara geografis, desa ini berada 20 30’ - 2045’LU; 98030’ - 98045’
BT dan 1080 m di atas permukaan Laut dengan luas 140, 24 km2. Diapit oleh dua lembah yaitu Lembah Sagala dan Lembah
Limbong di sebelah barat daya Danau Toba menjadikan desa ini lebih didominasi
oleh sumber-sumber air (mual). Hampir semua rumah penduduk desa ini
berada di kaki lembah. Di sepanjang tepi desa, yang terlihat hanyalah tebing
yang menghubungkan antara desa ini dengan desa-desa di daerah Kab. Dairi dan
Kab. Karo. Dari sudut struktur pemerintahan negara, Sianjur Mula-mula merupakan
salah satu kecamatan yang berada dalam wilayah Kabupaten Samosir, provinsi
Sumatera Untara. Berada pada jarah 14 km dari ibu kota Kab. Samosir,
Pangururan, desa ini tergolong cukup dekat dari Ibu kota Kabupaten.
Kecamatan Sianjur Mula-mula memiliki 11 desa: Desa Boho, Desa Aek Sipitu Dai, Desa Sngkam, Desa Sari Marihit, Desa
Sianjur Mulamula, Desa Ginolat, Desa Huta Ginjang, Desa Siboro, Desa Huta
Gurgur, Desa Bonan Dolok, Desa Hasinggan. Sedangka, ibu kota kecamatan adalah
Sagala. Menurut data dari Badan Pusat Statitik (BPS) Kabupaten Samosir, pada
tahun 2008 Kecematan Sianjur Mula-mula dihuni oleh 11.098 jiwa penduduk: 5.610
perempuan, dan 5.488 laki-laki. Dari sudut pandang agama, mayoritas penduduk di
desa ini telah memeluk salah satu agama yang diakui di Indonesia. Menurut Data
yang diberikan oleh BPS, pada tahun 2008, Kristen: 5.336 jiwa; Katolik, 4.123
jiwa; Islam: 8 jiwa; lainnya: 20 jiwa. Sementara itu, ada 25 gedung gereja
Kristen, dan 14 gedung gereja Katolik.
Kehidupan di Desa ini tergolong aman dan nyaman. Semua orang
yang ditemui sangat ramah. Terbukti dari cara mereka menyambut orang yang baru
mereka kenal termasuk peneliti. Mereka masih mempertahankan budaya Batak Toba sebagai warisan
leluhur mereka. Walaupun mereka sudah menganut agama Kristen, mereka tetap
melakukan upacara-upacara adat yang nota bene diizinkan oleh pemimpin agama.
“Bahkan, melihat ritual Batak Toba aja kami dilarang”, tutur beberapa orang informan. Namun, semangat untuk tetap mempertahankan tradisi masih
tetap mereka pertahankan. Menurut semua informan, mereka masih pergi ziarah ke
Pusuk Buhit dan ke situs-situs penting leluhur Batak Toba, melakukan upacara mangongkal
holi (menggali tulang-benulang leluhur), melakukan pernihkan secara
kultural. Selain itu, mereka juga masih pergi ke mata air untuk berdoa. Data
mengenai aktivitas religiusitas masyarakat akan dipaparkan pada bab
selanjutnya.
![]() |
https://c2.staticflickr.com/4/3322/3509716116_e7af784373.jpg |
Gbr.: Desa Sagala, Sianjur Mula-mula
Berdasarkan sejarah oral Batak, Desa Sianjur Mula-mula adalah wilayah permukiman orang Batak
Pertama yang disebut Siraja Batak. Sitor Situmorang (2009:11) mencatat, bahwa
desa ini “menurut sejarah lisan Toba, yaitu tarombo (silsilah),
merupakan desa yang diwariskan dari generasi ke generasi, pemukiman pertama,
desa yang terorganisir, didirikan oleh leluhur orang Batak Toba melalui usaha pertanian bersawah dan memakai sistem
irigasi.” Pemaparan tersebut menggambarkan bahwa sejak awal mula, orang Batak di daerah tersebut sudah
membangun hubungan yang akrab dengan alam. Dan juga, tanah dan segala isinya itu yang pertama sekali dikenal. Alam itulah yang pertama yang
dengannya manusia Si Raja Batak berelasi.
Dari mitologi penciptaan yang akan dipaparkan pada
bab selanjutnya diceritakan bahwa manusia dilahirkan dari/oleh penghuni dunia
atas. Mereka yang menurunkan manusia dan semua tumbuhan yang ada di dunia ini. Desa inilah yang menjadi
lokus peristiwa itu. Menurut informan, desa inilah yang merupakan Bona
Pasogit dari semua orang Batak. Istilah ini memiliki arti sebagai penunjuk
tempat dari mana asal suatu bangsa. Tidak ada seorang pun orang Batak entah dia berasal
dari salah satu puak tidak mengakui historisitas tempat ini. Karena itulah ada
ungkapan yang dituliskan oleh Tampubolon (2002:90):
“Sianjurmula-mula, Sianjur Mulajadi,
Mula ni sombayang, mula ni Sombauasi
Marpansur golang-golang, partapian jabi-jabi,
Parsuapon manogot, paranggiron bodari”.
Terjemahan:
Tanjung
perdana, tanjung awal cipta
Awal
mula sembahyang, awal mula sembah suci
Berpancur gelang, bertempat mandi pohon beringin
Tempat cuci muka di pagi hari, tempat menadikan jeruk purut
di malam hari.
Ungkapan ini dijadikan sebagai pengingat akan mitologi penciptaan dan betapa
pentingnya tempat ini bagi orang Batak Toba. Dari sanalah semua manusia berasal. Tanpa terkecuali menurut religi Batak Toba.
Di daerah
ini, ada satu gunung yang bagi Orang Batak Toba disebut gunung Pusuk Buhit.
Pusuk Buhit berada tepat di pertengahan antara lembah Limbong dan lembah
Sagala. Situmorang (2009:23) menjelaskan, “Pusuk Buhit sendiri adalah tempat
turunnya Mulajadi Na Bolon ke Bumi”. Gunung ini tidak hanya sebagai awal
sejarah, tetapi menjadi pusat religi Batak Toba. Di puncak gunung tersebut
orang Batak masih sering melakukan ritual. “Altar bagi doa-doa dan persembahan itu ialah Gunung Pusuh Buhit, sekaligus kiblat (alamat)
penghormatan keturunannya kepada roh-roh persemayaman para leluhur”
(Situmorang, 2009:23). Arti pentingya lokus ini menjadikan banyak orang sering datang kesana untuk berdoa hingga saat
ini. Di puncak
gunung inilah manusia Batak pertama berelasi dengan penghuni dunia atas hingga mereka turun ke lembah Sianjur
Mula-mula.
Setelah mereka turun dari gunung Pusuk Buhit,
mereka mendirikan sebuah kampung tepatnya di Lembah Sagala. Saat ini, telah
dibangun satu museum rumah adat Batak Toba yang dipahami sebagai rumah Siraja
Batak dulu. Bangunan ini didirikan di daerah kampung Si Raja Batak (penelitian, Maret). Dari segi jumlah, penduduk yang ada
di desa Sagala ini tidak terlalu banyak. Hal itu dapat terlihat dari jumlah
rumah penduduk yang telah didirikan disana. Hampir seluruh daerah ini dipenuhi
dengan lahan pertanian khususnya persawahan. Persawahan terbentang luas di
sepanjang daerah yang datar. Mata air mengalir deras dari hutan yang berada di
dataran tinggi Karo dan Dairi.
Historisitas lokus ini
yang menjadi alasan utama untuk menjadikannya sebagai locus perhatian. Disanalah pertama sekali religi ekologis Batak Toba lahir karena
dengan semua wujud-wujud yang ada disanalah Siraja Batak berelasi secara
langsung. Religi ekologis itu diwariskan secara terus menerus dan menjadi
pandangan hidup bersama yang dipraktekkan dalam kehidupan bersama. “Kearifan
tradisional adalah miliki komunitas” (A. Sonny Keraf, 2002:289). Kearifan itu
mereka miliki bersama karena mereka peroleh bersama dan bagikan secara bersama.
Mereka melakukannya secara komunal seperti bertani, berburu, menangkap ikan,
maupun melakukan ritual. Sianjur Mula-mula adalah mula dari religi ekologis
Batak Toba.
Memikirkan kembali makna religi ekologis menjadi
sesuatu yang sangat penting dalam memahami kearifan lokal indigenous
religion. Pendefinisian ulang ini telah membawa pemahaman baru dan istilah
baru, religi ekologis. Paduan keduanya menegaskan suatu keterkaitan yang sangat
erat antara religi dan ekologi. Artinya, religiusitas religi lokal hanya dapat dipahami dalam kaitannya dengan pembahasan
tentang ekologi. Keduanya menjadi suatu prasyarat yang sangat penting dalam
memahami religiusitas manusia dan wujud-wujud yang-lain-dari-manusia. Dengan
demikian, alam bukanlah objek dalam sistem relasional, tetapi subjek
sebagaimana manusia adanya. Itulah religiusitas masyarakat lokal. Pada bab
berikutnya, akan dibahas secara langsung bagaimana religi ekologis telah
menjadi suatu cara hidup dalam masyarakat Batak Toba.