Anak
adalah anugerah terindah yang sering membawa persoalan dalam keluarga.
Kehadiran mereka selalu dinanti—nanti. Bahkan setiap kebudayaan memberikan
upacara tersendiri dalam masa penantian hingga kelahiran seorang anak. Namun,
acap kali itu membawa persoalan.
Sebelum
pernikahan, sepasang calon suami istri umumnya telah merencanakan berapa anak
yang akan mereka miliki. Hingga pemerintah Indonesia di zaman Soeharto pernah
merencanakan KB (Keluarga Berencana).
Dua anak cukup. Itulah slogan utama.
Persoalan
anak menjadi lebih rumit apalagi kalau berkaitan dengan budaya atau adat
istiadat setempat. Di berbagai budaya, memiliki anak mendapat perhatian khusus.
Di dalam budaya Batak khususnya Batak Toba, anak dimengerti sebagai sebuah
kekayaan. Lagu gubahan Nahum Situmorang “Anakhon
hi do hamoran di ahu” menggambarkan secara jelas filosofi ini.
Bila
dilihat lebih dalam lagi dalam budaya Batak Toba tentang anak, Anak laki-laki sering mendapat sorotan utama.
Kehadiran anak laki-laki dalam keluarga Batak Toba sungguh sangat mendapat
perhatian. Bagaimana tidak. Keluarga tanpa anak laki-laki dianggab sebuah aib
dan kegagalan. “Hagabeon”, salah satu kata dari dua kata lainnya (Hamoraon,
Hasangapon) menunjukkan hal ini. Hagabeon berarti memiliki keturunan khususnya
anak laki-laki.
Di
tengah masyarakat modern saat ini, ketegangan antara punya anak laki-laki atau
tidak menjadi persoalan yang sangat penting dalam keluarga. Banyak keluarga
muda Batak Toba sering tidak lagi memperhatikan ini bahkan menolak keharusan
anak laki-laki di tengah keluarga mereka.
Jadi,
kok bisa anak laki-laki begitu penting?
Pertanyaan
ini pernah dijawab oleh seorang teman, karena orang Batak Toba itu adalah suku
patrilinear. Benar. Batak Toba adalah suku dengan sistem kekeluargaan
patrilinear. Marga yang akan dimiliki oleh anak-anak adalah marga bapaknya.
Dengan demikian, tidak ada anak berari marga tidak akan diteruskan lagi dari
seorang Bapak.
Selain
itu, anak laki-laki menjadi penerus nama bagi leluhurnya. Lihat saja. Ketika
seorang lelaki memiliki anak, namanya akan berganti. Bukan lagi Si Karno
Manullang, tetapi Pa. Suharto Manullang karena anaknya bernama Suharto. Ketika
Suharto memiliki anak dan diberi nama Habibie, maka nama Si Karno bukan lagi
Pa. Suharto, tetapi Op. Habibie. Dan, nama itulah yang akan dikenakan di salib
kuburannya ketika dia mati.
Vergouwen
pernah berpendapat. “Dalam pengaturan setiap adat dan kebiasaan yang berlaku
dimasyarakat Batak, kaum laki-laki berperan dalam menentukan jalannya suatu adat
karena masyarakat Batak merupakan penganut sistim garis keturunan Patriakal,
dimana hak menggantikan menurut alur laki-laki secara langsung terwujud melalui
kelahiran anak laki-laki, karena anak laki-laki adalah pelaksana wajar dari kesinambungan
keturunan dari jalur bapak” (Vergouwen, 1986).
Penjelasan
di atas menegaskan bahwa harapan hadirnya anak laki-laki dalam budaya Batak sungguh
tak terbantahkan. Ini bukan soal tidak sesuai zaman. Ini adalah soal pentingnya
sebuah penerus dalam garis keturunan. Namun, harus ditegaskan bahwa anak perempuan juga sangat penting. Kehadiran keduanya adalah kesempurnaan Hagabeon dalam keluarga Batak
Toba.
Horas tulang.... boi a tulisan ta i... alai paragraf terakhir, bahasana hurang setuju au bah.... molo bai dengan bahasa lebih merangkul, hehehe.... Salam and slamat berkarya.
BalasHapusHoras ma tutu Abang... di kalimat taringat tu Boru i do Bang? heheheh hurang memang.. Gabe asing artinya ate, seakan anak perempuan tidak penting. Nungnga hukoreksi be Abang. Terlalu fokus mungkin tu Anak laki-laki.. Alai hujelason do Kesempurnaan dari Hagabeon ketika Putra dan Putri hadir dalam keluarga.
BalasHapusMauliate Godang da Bang.. Selamat berkarya ma di hita Bang...