Identitas
merupakan penanda yang diberikan atas diri seseorang atau kumpulan orang.
Sebagai penanda, dia menjadi penting khususnya dalam kepluralan
masyarakat. Artinya, ketika satu individu
bertemu dengan individu lainnya, saat itu juga dia membutuhkan identitas
pribadinya.
Dalam
suatu bangsa yang besar dari segi jumlah suku, identitas mejadi suatu hal yang
sangat urgen untuk ditegaskan. Meredefenisikan kembali identitas setiap suku
merupakan suatu hal yang sangat penting di tengah masyarakat yang multikultur.
Dalam
usaha menentukan identitas ini, terkadang ada beberapa hal yang dilupakan.
Sering terjadi, penegasan identitas malah menimbulkan ekslusivitas dan sentimen
kelompok. Demi keutuhan identitas, kelompok lain malah didiskreditkan. Orang
yang melanggar identitas pun akhirnya menjadi korban “dikeluarkan” dari
kelompok.
Sebagai
sebuah suku, Suku Batak[1] hingga saat
ini sedang mengalami pergulatan personal dan komunal tentang identitas itu
sendiri. Ada orang yang mengatakan diri Batak karena marga, tetapi karena tidak
tahu budaya Batak dan bahasa Batak. Orang seperti ini akan merasa kesulitan
untuk menghadiri acara-acara Batak. Kepada mereka, istilah “Batak Dalle”
dialamatkan.
Belum
lagi kelompok marga. Karena beberapa alasan atau peristiwa historis, ada
beberapa marga yang mengalami kesulitan untuk menentukan identitasnya. Marga
Haromunthe dan Sidabukke yang keluar dari rumpun marga parna menjadi fakta akan
fenomena ini. Dalam kehidupan praktis, mereka kesulitan untuk bergabung dalam
kelompok marga. Tidak satu kumpulan marga pun yang siap menerima mereka. Tak
akan ada satu toga (rumpun marga)
yang akan mengajak mereka untuk Natalan bersama.
Persoalan
ini menguak karena adanya ‘korban’ dari tidak bijaknya sistem dalam membentuk
dan mempertahankan identitas. Beberapa sarjana mencoba menjawabi ini dengan
mengedepankan nilai-nilai etis. Mereka merenungkan kembali dan mempertentangkan
antar nilai-nilai yang di perjuangkan. “Perang antar nilai”.
Usaha
ini tentunya membutuhkan suatu penilaian etis yang sangat mendalam. Pantaskan
sekelompok orang mempertahankan kemurnian kelompoknya walau mengorbankan harkat
dan martabat manusia? Menururt Kwame Anthony Appiah, sebuah identitas dipandang
kurang tepat untuk menjabarkan adanya perbedaan gender, kelas, ras, bangsa dan
membawa perbedaan tersebut secara bersamaan serta digunakan dalam kehidupan
sehari-hari.
Menurut
pemikiran ini, menjadi seorang Batak cukuplah menjadi identitas diri sendiri
walau pun dia menjadi bagian dari suatu indetitas komunal. Pemaknaan dia atas
identitas itu tergantung pada keinginan antar masing-masing individu.
Dengan
demikian, identitas Batak adalah identitas yang senantiasa mengalami proses. Walau
Appiah mengatakan identitas itu tergantung pada masing-masing individu, bukan berarti
kebatakan yang terberikan kepada seorang manusia Batak dilepaskan. Sejatinya, menjadi
Batak berarti menjadi orang yang hidup dengan nilai-nilai kebatakannya sejauh itu
menjunjung tinggi martabat Manusia. Pengakukan identitas "Aku Batak" menjadi pengakuan yang menuntut suatu konsekuensi etis dan moral. Aku Batak harus ditunjukkan demi semakin memanusiakan manusia secara personal dan manusia lainnya.
Menjuah-juah, Juah-juah, Horas.
[1]
Kami menyebutkan Batak untuk merangkum semua puak yang ada di Batak terlepas
banyaknya perdebatan tentang Batak itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar