Selasa, 05 Mei 2015

"Aku Batak!": Persoalan Identitas Kesukuan


Identitas merupakan penanda yang diberikan atas diri seseorang atau kumpulan orang. Sebagai penanda, dia menjadi penting khususnya dalam kepluralan masyarakat.  Artinya, ketika satu individu bertemu dengan individu lainnya, saat itu juga dia membutuhkan identitas pribadinya.
Dalam suatu bangsa yang besar dari segi jumlah suku, identitas mejadi suatu hal yang sangat urgen untuk ditegaskan. Meredefenisikan kembali identitas setiap suku merupakan suatu hal yang sangat penting di tengah masyarakat yang multikultur.
Dalam usaha menentukan identitas ini, terkadang ada beberapa hal yang dilupakan. Sering terjadi, penegasan identitas malah menimbulkan ekslusivitas dan sentimen kelompok. Demi keutuhan identitas, kelompok lain malah didiskreditkan. Orang yang melanggar identitas pun akhirnya menjadi korban “dikeluarkan” dari kelompok.
Sebagai sebuah suku, Suku Batak[1] hingga saat ini sedang mengalami pergulatan personal dan komunal tentang identitas itu sendiri. Ada orang yang mengatakan diri Batak karena marga, tetapi karena tidak tahu budaya Batak dan bahasa Batak. Orang seperti ini akan merasa kesulitan untuk menghadiri acara-acara Batak. Kepada mereka, istilah “Batak Dalle” dialamatkan.
Belum lagi kelompok marga. Karena beberapa alasan atau peristiwa historis, ada beberapa marga yang mengalami kesulitan untuk menentukan identitasnya. Marga Haromunthe dan Sidabukke yang keluar dari rumpun marga parna menjadi fakta akan fenomena ini. Dalam kehidupan praktis, mereka kesulitan untuk bergabung dalam kelompok marga. Tidak satu kumpulan marga pun yang siap menerima mereka. Tak akan ada satu toga (rumpun marga) yang akan mengajak mereka untuk Natalan bersama.
Persoalan ini menguak karena adanya ‘korban’ dari tidak bijaknya sistem dalam membentuk dan mempertahankan identitas. Beberapa sarjana mencoba menjawabi ini dengan mengedepankan nilai-nilai etis. Mereka merenungkan kembali dan mempertentangkan antar nilai-nilai yang di perjuangkan. “Perang antar nilai”.
Usaha ini tentunya membutuhkan suatu penilaian etis yang sangat mendalam. Pantaskan sekelompok orang mempertahankan kemurnian kelompoknya walau mengorbankan harkat dan martabat manusia? Menururt Kwame Anthony Appiah, sebuah identitas dipandang kurang tepat untuk menjabarkan adanya perbedaan gender, kelas, ras, bangsa dan membawa perbedaan tersebut secara bersamaan serta digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut pemikiran ini, menjadi seorang Batak cukuplah menjadi identitas diri sendiri walau pun dia menjadi bagian dari suatu indetitas komunal. Pemaknaan dia atas identitas itu tergantung pada keinginan antar masing-masing individu.
Dengan demikian, identitas Batak adalah identitas yang senantiasa mengalami proses. Walau Appiah mengatakan identitas itu tergantung pada masing-masing individu, bukan berarti kebatakan yang terberikan kepada seorang manusia Batak dilepaskan. Sejatinya, menjadi Batak berarti menjadi orang yang hidup dengan nilai-nilai kebatakannya sejauh itu menjunjung tinggi martabat Manusia. Pengakukan identitas "Aku Batak" menjadi pengakuan yang menuntut suatu konsekuensi etis dan moral. Aku Batak harus ditunjukkan demi semakin memanusiakan manusia secara personal dan manusia lainnya.

Menjuah-juah, Juah-juah, Horas.



[1] Kami menyebutkan Batak untuk merangkum semua puak yang ada di Batak terlepas banyaknya perdebatan tentang Batak itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar