Minuman beralkohol tidak serta merta memberikan dampak buruk bagi manusia dengan karakter normalnya. Karakter normal dalam hal ini dimengeri bahwa alkohol, sama seperti materi lainnya, dapat berdampak negatif dan positif. Dampak negatifnya memang dapat menimbulkan kematian. Seperti yang dialami oleh beberapa orang muda di Indonesia, mati karena minum minuman oplosan. Di samping itu, minuman beralkohol harus juga diterima sebagai minuman yang dapat berdampak positif. Dengan kata lain, minuman beralkohol memiliki dua sisi tergantung konsumen.
Dalam budaya Batak Toba, ada satu minuman beralkohol yang sangat lazim dikonsumsi. Tuak, itulah nama yang diberikan. Minuman ini diperoleh dari hasil permentasi air aren dengan salah satu kulit kayu yang disebut raru. Paragat, orang yang berprofesi mengambil tuak, tahu persis dalam mengolah air aren ini menjadi tuak. Bahkan, mereka memiliki hubungan yang sangat khusus dengan aren. Bagi mereka, aren ibarat seorang putri yang cantik.
Paradigma ini tentunya membutuhkan suatu cara yang khusus agar aren memberikan airnya bagi si Paragat. Aren harus dibujuk, dihormati, dicintai dan juga dijaga. Menurut mereka, jika itu tidak dilakukan, air yang dihasilkan tidak akan enak. Lebih lagi, bila tidak dilakukan, aren tidak akan memberikan airnya kepada si Paragat.
Bagi orang Batak, minum tuak seyogiyanya tidak pernah didasari pada niat untuk mabuk, tunjukkan kekuatan atau alasan buruk lainnya. Tuak hanya diminum untuk tujuan yang baik. Itulah mengapa, tuak selalu dikonsumsi secara bersama.
Kebiasaan ini pada akhirnya melahirkan budaya marmitu (marende dohot minum tuak/bernyanyi sambil minum tuak). Namun, aktifitas ini juga mengandung kegiatan diskusi, bercanda gurau, dan ngobrol ringan. Di kampung-kampung, biasanya minum tuak dilakukan di lapo/kedai tuak. Beberapa laki-laki akan berkumpul di sore hari menikmati tuak sore.
Budaya minum tuak di lapo ini menjadi sangat menarik untuk dipahami. Aktifitas marmitu di lapo memberikan banyak dampak positip. Sambil menyeruput sepatnya tuak pasti ada pembicaraan seputar kehidupan mereka, tentan pekerjaan, tentang keluarga hingga tentang politik. Di group lain pada lapo yang sama, akan melantunkan beberapa album lagu. Lantunan merdu tanpa teks dan tanpa not membuat mereka lebih ekspresif dalam bernyanyi. Maka, tidak usah heran jika suasana di lapo kadang sangat berisik. Itu bukan pembicaraan kosong atau nyanyian fals. Kegiatan itu selalu punya arti bagi mereka.
Bagaimana kalau dalam suatu lapo tidak ada tuak. Jika hal ini terjadi, dapat dipastikan bahwa lapo itu akan tidak dapat pengunjung. Semua orang akan mencari lapo lain yang menyediakan tuak.Artinya, tuak adalah daya tarik utama dan pertama untuk pengunjung.
Saya tidak bisa membayangkan jika suatu saat nanti diterbitkan undang-undang penghapusan alkohol dari bumi Indonesia ini. Mungkin, orang Batak akan maju di barisan pertama untuk menolak. Pemerintah harus mempertimbangkan ini. Kehadiran tuak tidaklah selalu berdampak negatif. Ada begitu banyak dampak positip. Jangan salah, ada berbagai ide cemerlang yang muncul dari lapo tuak. Ada begitu banyak cipta karya seni yang lahir dari segelas tuak.
Tuak, walau pun hanya minuman tradisional, tidak pernah sehebat minuman impor. Apa pun pendapat orang atau kelompok yang mendukung pelarangan minuman beralkohol, jangan sampai tuak dihapuskan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar