Abstract
Keywords: Jambar, culture, corruption, anti-corruption, relation
Introduction
Persoalan korupsi tidak hanya persoalan material,
tetapi juga persoalan yang sangat mendasar dalam diri manusia. Manusia
merupakan mahluk relasional. Hakekat kemanusiaan ini rusak ketika adanya pihak merusak
hubungan di antara manusia. Dalam hal ini, korupsi selalu memiliki makna
rusaknya relasi. Ketika tindakan koruptif terjadi atau dijadikan, saat itu juga
relasi antara manusia rusak. Dengan kata lain, tindakan koruptif adalah
peniadaan relasi.
Seluruh hidup manusia senantiasa dilingkupi
dengan terjadinya proses relasi. Tidak seorang pun manusia yang hidup tanpa
adanya relasi. Bahkan, boleh dikatakan, salah satu tujuan hidup manusia adalah
membangun relasi dan menjaga relasi itu. Ketika orang bergerak dalam dunia
bisnis, saat itu dia berada di antara berbagai subjek dengan siapa dia
membangun relasi itu (net working). Dalam dunia religi, relasi ini
menjadi sangat tampak dalam dogma, Kitab Suci, dan juga tindakan manusia.
Religi dengan demikian pada hakekatnya bicara soal relasi manusia dengan Yang
Maha Tinggi, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam. Bahkan, ketika
manusia sendirian, dia hidup dalam relasi dengan dirinya sendiri. Relasi adalah
dunia real manusia.
Dalam sejarah peradaban manusia, relasi itu
ditata dengan baik dalam budaya. Budaya menjadi produk-produk relasi manusia
yang pada waktunya bertujuan untuk menjaga relasi itu. Ketika manusia tercipta
dalam rahim dan masuk dalam sistem budaya tertentu, manusia langsung masuk
dalam semesta yang relasional. Manusia membentuk dan dibentuk dalam budaya itu memampukan
manusia untuk menjadi manusia yang berbudaya. Dengan kata lain, manusia yang
berbudaya adalah manusia yang dengan total memperjuangkan segala relasinya agar
tetap terjaga dan semakin baik. Budaya menjadi salah satu cara yang sangat
efisien untuk mencegah terjadinya atau semakin berkembangnya karakter-karakter anti-koruptif
suatu bangsa.
Salah satu bentuk budaya yang terdapat di
Indonesia khususnya dalam kebudayaan Batak Toba adalah aktifitas “mambagi
jambar”. Aktifitas cultural ini muncul dalam setiap upacara adat Batak Toba.
Dengan prisip dasar Dalihan Na Tolu (DNT), aktifitas ini diatur dengan
sedemikian rupa agar relasi antar pihak yang termasuk dalam DNT tetap terjaga
dan semakin erat. Mambagi jambar dengan kata lain adalah aktifitas
penjagaan relasi antar beberapa pihak yang terkait dalam suatu upacara. Bentuk
relasi apa yang diperjuangkan dalam aktifitas itu? Apakah budaya mambagi
jambar hanya memiliki arti dalam upacara? Atau, adakah nilai lain yang
secara langsung terungkap dari budaya itu?
Dalam artikel ini, penulis akan menganalisa
bagaimana mambagi jambar menjadi salah satu aktifitas yang menanamkan
nilai-nilai anti-koruptif dalam kebudayaan Batak Toba. Ketika dilaksanakan
dengan penghayatan yang mendalam, budaya itu akan dengan sendirinya membentuk
karakter-karakter anti-koruptif dalam diri setiap individu upacara itu. Selain
itu, bagaimana cara untuk mencegah tindakan korupsi juga muncul dalam budaya mambagi
jambar. Keseluruhan analisis ini akan dirangkum dalam bentuk temuan-temuan
baru dari kedua tema besar ini, kearifan lokal anti-koruptif Batak Toba dalam
budaya mambagi jambar.
Berkenalan dengan Korupsi
Korupsi bukanlah fenomena yang baru. Yang
baru adalah modusnya. Korupsi sudah ada sejak manusia ada. Bahkan, Kitab Suci dari
beberapa agama telah melaporkan tindakan koruptif walau belum menggunakan kata
korupsi. Leo V. Ryan menyatakan bahwa
dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, “corruption
is characterized by widespread bribery”. In
the Old Testament God tells Moses "Neither shalt thou take bribes which
blind the wise and prevent the words of the just". John T. Noonan, pernah mengalisa sejarah tentang suap,
“it has a history, divisible into discernible epochs”.
Dari penelitian sejarah ini, Noonan, meneliti sejak tahun 3000 SM. Hasil ini
menunjukkan bahwa praktek korupsi dalam segala bentuknya telah lama terjadi
dalam kebudayaan manusia. Dan, hingga kini, yang berkembang adalah cara-caranya
(modus). Dalam artikel ini, penulis tidak berkehendak untuk menganalisa
bentuk-bentuk korupsi secara detail. Yang harus menjadi fokus adalah mencari
cara untuk mengikis kejahatan bersistem ini dari peradaban manusia.
Secara etimologis, korupsi berasal dari
kata latin corruption atau corruptus. Corruption sendiri
berasal dari kata corrumpere yang bermakna membusuk, merusak, menggoyahkan, memutarbalik dan
menyogok. Kemudian, muncul dalam bahasa Inggris dan Prancis Corruption,
dalam bahasa Belanda Korruptie, selanjutnya dalam bahasa Indonesia
dengan sebutan Korupsi.
Weber mengembangkan sebuah tipologi korupsi pada dasar intense subjektif yang
memiliki harapan individual seperti perolehan kekuasaan dan pengaruh,
kesuksesan ekonomi dan bisnis, memperkaya diri sendiri, motif-motif social,
kesempatan, dll.
Etimologi dan tipologi ini secara senada menegaskan bahwa korupsi merupakan
tindakan yang merugikan dan merusak tatanan sosial karena kepentingan pribadi.
Dengan kata lain, korupsi adalah kejahatan yang melibatkan banyak orang sebagai
korban. Jeremi Pope menegaskan perusakan tatanan berbagai aspek ini, “korupsi merusak
kesehatan ekonomi dan social serta kehidupan kapan saja dan di negara mana saja
terjadi, dan apa pun tahap pembangunan yang telah dicapai.”
Dalam beberapa dekade terakhir, ketika
penyebutan “Dunia Ketiga” muncul, praktek-praktek korupsi telah meraja lelala
di negara-negara tersebut. Negara-negara Dunia Ketika yang sedang mengalami
proses perkembangan menjadi lahan yang sangat baik untuk mekarnya sifat-sifat
koruptif. Robert Klitgaard menegaskan bahwa “Praktek-praktek jahat
menyebar di negara-negara berkembang. Jelas kita tidak bisa memukul rata,
tetapi korupsi oleh pejabat pemerintah barangkali merupakan salah satu dari
tiga atau empat masalah paling merugikan yang dihadapi Dunia Ketiga.”
Dalam proses perkembangan ini, pemerintah dan/dengan koleganya dengan sangat
mudah melegalkan praktek kejahatan social atas nama pembangunan. Sejarah
Indonesia menjadi bukti nyata akan fenomena korupsi di negara berkembang ini.
Persoalan korupsi di Indonesia merupakan
persoalan yang sangat fenomenal. Bahkan, Pranoto menyebutnya sebagai “korupsi
berjemaah”.
Hal ini ditegaskan oleh Transparency International (TI) di Berlin dengan
menobatkan Indonesia sebagai negara dan bangsa terkorup no 6 di dunia dari 133
negara dunia yang diteliti. Dan pada tahun 2004, bangsa Indonesia kembali
dinobatkan sebagai bangsa terkorup no 5 dari 146 negara.
Pada hal, Negara Indonesia telah memiliki hukum yang jelas atas tindakan ini.
Dalam Pasal 2 Undang-Undang no 31 tahun 1999 yang telah diubah menjadi
Undang-Undang no 20 tahun 2001 dinyatakan “(1) Setiap
orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup
atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). (2)
Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan
dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.” Mengapa Indonesia masih terpuruk dalam peringkat
ke 5 bisa terjadi? Haryatmoko memberi jawaban karena “korupsi di Indonesia
sudah menjadi kejahatan structural, yaitu kekerasan sebagai hasil interaksi sosial
yang berulang dan berpola yang menghambat banyak orang untuk bisa memenuhi
kebutuhan dasar.”
Keberadaan praktek-praktek korupsi di Indonesia telah memberikan dampak yang
sangat besar bagi bangsa dan negara. Jarak antara orang kaya dan miski yang
melewati batas dan bobroknya pemerintahan menjadi bukti nyata dari kejahatan sosial
ini.
Dari penjelasan ini, dapat disimpulkan
bahwa korupsi adalah rusaknya relasi. Setiap tindakan korupsi akan memberikan
dampak terhadap hubungan antara beberapa pihak. Segala tipologi korupsi baik
itu korupsi ekonomi, social dan administrasi publik selalu mengarah kepada
pihak-pihak yang dirugikan. Bahkan, dalam kasus suap pun, ada pihak yang
dirugikan dan akan dirugikan. Secara tidak sadar, para pelaku korupsi juga
telah merugikan harkat dan martabat dirinya sebagai pelaku korupsi. Maka,
sangat benar jika tindakan korupsi dijadikan sebagai salah satu dari tiga
tindakan kejahatan terbesar di negara ini selain narkoba dan terorisme. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa, tindakan korupsi adalah salah satu aib
terbesar yang merusak harga diri seorang manusia. Relasi dengan dirinya hancur.
Jambar dalam Budaya Batak Toba
Ciri utama masyarakat Batak adalah tata
adat kemasyarakatannya yang disebut “Masyarakat Dalihan Natolu”. Tata adat ini
selalu muncul dalam setiap pengungkapan adat Batak Toba. Ada tiga pihak yang
termasuk dalam sistem ini yaitu: hula-hula (kelompok pemberi istri), boru
(kelompok penerima istri), dan dongan sabutuha (kelompok yang
berasal dari satu perut atau kelompok yang satu marga) dengan raja huta sebagai
pemersatu. Semua pihak ini harus ada dalam setiap upacara adat agar adatnya dapat
dinyatakan sah. Dan setiap orang yang hadir ke dalam sebuah upacara adat pasti
sudah mengetahui posisinya, apakah dia hula-hula, boru atau dongan tubu.
Falsafah Batak ini juga yang membentuk relasi ketiga pihak itu, sombà marhulahùla (bersikap sembah terhadap hula-hula), elèk marbòru (bersikap membujuk kepada boru), hormàt mardòngan tùbu (bersikap hati-hati terhadap teman
semarga). Dan, falsafah inilah yang menjiwai aktifitas padalan jambar.
Kata jambar merupakan istilah yang
sangat penting dalam budaya Batak. Menurut kamus elektronik Batak-Indonesia, ”Jambar adalah bagian, pembagian yang seorang berhak menerima
menurut adat; marjambar, mendapat bagian, dapat jatah; parjambaran,
penjatahan bagian daging binatang sembelihan yang berhak diterima seseorang; manjambari,
membagi dalam bagian-bagian, menjatah”
Defenisi ini menegaskan bahwa adanya hak dan kewajiban merupakan alasan mengapa
terjadi pembagian itu. Semua hak itu harus terpenuhi agar upacara dimana
aktifitas mambagi jambar itu dapat berlangsung dengan baik. Dengan
demikian, jambar merupakan suatu keharusan dalam suatu
upacara adat Batak Toba. Apa lagi, menurut AA. Sitompul, ada dua alasan utama mengapa jambar
menjadi sangat penting dalam upacara adat. Pertama, jambar menentukan
kedudukan seseorang dalam status
sosialnya; dan kedua, dalam pembagian jambar, hak dan kewajiban
harus dimanifestasikan sebagai tanda solidaritas kebersamaan (komunitas) dan
kegotong-royongan masyarakat adat. Berdasarkan alasan di atas, jambar menjadi
satu cara untuk menunjukkan kehadiran ketika kelompok DNT. Ketika upacara adat
sampai pada pembagian jambar, saat itulah manifestasi tanda solidaritas
kebersamaan itu muncul secara nyata. Sikap sembah kepada hula-hula, boru dan
dongan tubu terwujud ketika
bagian mereka diberikan dengan baik dan dalam porsi yang tepat.
Dalam kultur Batak terdapat tiga jenis
jambar, pertama: jambar juhut (hak untuk mendapat bagian atas hewan
sembelihan dalam acara; kedua: jambar hata (hak untuk mendapatkan
kesempatan berbicara; ketiga: jambar ulaon (hak untuk mendapat peran dan
tugas dalam pekerjaan publik atau komunitas. Dalam pembagian ini, tidak terjadi
pemisahan secara rigid karena ketiganya tetap memiliki keterkaitan. Keterkaitan
itu menjadi sangat jelas dalam kepribadian orang Batak yang dibentuk oleh
aktifitas ini. Dalam kehidupan sehari-hari, orang Batak selalu merasa diri
bahwa dia memiliki ketiga hak ini: hak berbicara, hak mendapat sumber
kehidupan, dan hak untuk mendapat peran dalam masyarakat. Dengan demikian,
pendefisiaan istilah jambar menjadi proses perwujudan hak, pengakuan
atas pribadi yang lain dan peneguhan relasi merupakan defenisi yang lebih
tepat.
Dari ketiga jenis jambar di atas, jambar
juhut yang lebih relevan dalam menanggapi kebiasan koruptif. Jambar
juhut dilakukan dalam upacara adat Batak yang di dalamnya terdapat
penyembelihan hewan. Dalam tata aturan adat Batak yang disebut patik dohot
uhum
(perintah dan hukum), telah ditentukan dengan jelas bagian-bagian mana saja
dari hewan itu yang harus diberikan kepada masing-masing pihak: hula-hula,
boru dan dongan tubu. Misalnya, rungkung ni pinahan (potongan
daging bagian leher hewan) harus diberikan kepada pihak boru. Dalam
acara pernikahan, aturan pembagian ini kadang kala berbeda di antara satu
daerah dengan di daerah lain. Karena adanya perbedaan ini, sebelum pelaksanaan
upacara, para raja, pihak laki-laki dan pihak perempuan akan bertemu dalam acara
mangalap ari. Segala sesuatu yang disepakati dalam
pertemuan itu akan dilakukan dalam upacara adat.
Padalan jambar juhut akan dilaksanakan sebelum acara manghatai
adat (acara dimana semua pihak duduk bersama untuk membicarakan tujuan dan
isi dari pelaksanaan adat). Parhobas (pelayan pesta) dan pambagi
jambar (pembagi jambar atau protokol) memiliki peranan yang sangat
penting dalam acara ini.
Merekalah yang akan membagikan daging di depan semua orang yang hadir di pesta.
Ungkapan “jolo sineat hata asa sineat juhut” (lebih dulu mengumumkan
bagian jambar kepada pihak tertentu sebelum memotong daging), menjadi prinsip yang
sangat penting kedua peran ini. Protokol pesta biasanya meneriakkan, “jambar
tu hula-hula” (jambar kepada hula-hula). Setelah diumumkan,
pelayan akan memotong bagian yang harus diberikan kepada hula-hula.
Pelayan akan memberikan daging itu kepada protokol dan protokol akan
menunjukkan daging itu sambil mengumumkan,
“on ma jambar tu hula-hula” (inilah jambar kepada hula-hula).
Demikian selanjutnya hingga semua pihak mendapatkan jambarnya
masing-masing.
Menurut A. Simbolon
“Dang boi asal mangido jambar. na patut tu hita do sijaloonta, alana ingkon
tahargai do jolma na lebih patut manjalo i ” (kita tidak boleh sembarangan
menerima jambar. Yang pantas untuk kitalah yang harus kita terima, karena
kita harus menghormati orang yang lebih layak untuk menerima itu). Pernyataan
ini menegaskan bahwa dalam pembagian jambar, semua orang harus jujur dan
tidak boleh sembarangan dalam menerima apa yang tidak pantas untuk diterima.
Ada kalanya, protokol bersalah. Dalam hal ini, semua orang yang ada dalam pesta
menjadi saksi. Jadi, semua pihak harus jujur dengan perannya dalam pesta.
Belajar dari kasus.
Menurut A. Simbolon, pernah terjadi dalam beberapa pesta kesalahan dalam proses
padalan jambar (membagikan jambar). Kasus pertama adalah protokol
pesta memberikan jambar kepada seorang hula-hula. Dalam pesta. ada
beberapa hula-hula mereka yang hadir yang berasal dari satu kakek. Akan
tetapi, protokol memberikan jambar itu kepada anak ke tiga dari keluarga
itu pada hal hadir juga anak pertama. Ketika jambar ini diberikan, beberapa
orang yang hadir dalam pesta itu langsung berteriak bahwa itu salah. Dalam
kasus ini, peranan paniroi adat (penasehat adat): raja huta dan natua-tua
(orang tua) menjadi sangat penting. Dengan kata lain, ketika terjadi
kesalahan dalam proses ini, orang yang hadir di dalam pesta akan berperan sebagai
saksi.
Kasus kedua adalah marhomi-homi (diam-diam)
mengambil daging untuk dirinya sendiri. Dalam suatu pesta, salah seorang dari
pihak dongan tubu bekerja sama dengan seorang parhobas untuk
mengambil daging pesta. Dongan tubu itu memberikan satu ceret teh kepada
parhobas. Lalu, parhobas itu mengembalikan ceret itu lalu memasukkan
beberapa potong daging pesta ke dalamnya. Perlakuan mereka terbongkar ketika ada
salah seorang ingin mengambil air dari ceret itu. Dan, yang keluar bukan air
tetapi darah daging itu. Mengetahui peristiwa itu, kedua orang tersebut dihukum
secara adat. Menurut A. Simbolon, kelakuan mereka disebut dengan mambagi
jambar di na homi (membagi jambar secara sembunyi-sembunyi). Kasus ini
menjelaskan bahwa padalan jambar harus dilakukan secara transparan dan
tidak boleh mengambil bagian yang bukan bagiannya.
Jambar dalam budaya Batak Toba menjadi bagian yang
sangat penting karena menyimbolkan beberapa pokok penting: relasi pihak-pihak DNT,
eksistensi manusia, status adat serta prinsip keadilan dan kejujuran. Seorang
manusia Batak Toba tidak pernah lepas dari semua hal ini karena ini sangat
didasari oleh falsafat Dalihan na Tolu. Bagi seorang Batak, hubungan
kekerabatan merupakan relasi yang sangat penting. Bahkan, konsep ini yang
mendasari pandangan orang Batak terhadap kematian. “Kekeluargaan merupakan
nafas hidup kami. Kematian hanya memisahkan hubungan jasmani tetapi bukan
ikatan keluarga”
Ikatan ini membuat pengakuan akan harkat dan martabat serta status adat menjadi
hal yang sangat sentral. Ketika upacara padalan jambar dilakukan, semua
entitas ini muncul secara langsung dan bersamaan. Ketika terjadi kesalahan atau
kelalaian dalam aktifitas ini, terputusnya relasi dan gagalnya upacara adat
sangat mungkin terjadi.
Mambagi Jambar dan budaya anti-koruptif
Aktifitas padalan
jambar dalam upacara adat Batak Toba adalah hasil daya cipta budi manusia
dengan mendasarkannya pada adat. Tujuan utamanya sudah jelas untuk mengatur
tata relasi masyarakat. Ketika aktifitas ini dimasukkan dalam upacara adat,
aktifitas ini menjadi sangat penting untuk direfleksikan. Apa lagi, peranannya
yang sangat penting dalam adat menunjukkan bahwa adanya nilai kultural yang
ingin ditekankan dalam jiwa semua anggota masyarakat. Dengan kata lain, ada
sebuah harapan bahwa nilai-nilai itu juga yang pada akhirnya membentuk karakter
orang yang selalu melakukannya. Bukankah karakter itu lahir dari kebiasaan yang
dilakukan dalam keseharian? Berangkat dari argument tersebut, yang menjadi
pertanyaan adalah bagaimana bentuk-bentuk nilai kultural anti-koruptif yang
hendak ditanamkan melalui aktifitas padalan jambar?
a. Jambar dan pengakuan hak
Jambar juhut selalu menunjuk pengakuan akan hak
tiap-tiap orang yang secara kultural telah ditentukan dalam suatu upacara adat.
Hak mereka adalah mendapat bagian dari sumber-sumber daya kehidupan. Dalam
upacara adat, hewan yang disembelih adalah hewan yang sudah diberkati atau
disucikan tanpa atau dengan menggunakan ritual khusus. Artinya, ketika hewan
tertentu dimasukkan dalam tataran upacara adat, hewan itu sudah terberkati.
Daging yang dihasilkan dari hewan ini diyakini sebagai sumber kehidupan atau
berkat dari Debata Mula Jadi na Bolon. Kehadiran rahmat illahi dalam
daging itu menjadikannya sebagai simbol yang penting dan harus didapatkan
sesuai dengan hak.
Pengakuan akan hak dalam aktifitas tersebut
merupakan tindakan yang mendasar bagi masyarakat Batak Toba. Pengakuan ini
secara langsung mengangkat martabat seseorang secara kultural. Perlu diketahui
bahwa adat merupakan entitas yang hakiki. Seorang Batak akan mendapat pengakuan
jika dia sudah menikah dan melakukan pesta adat. Perjuangan hidup untuk
mendapatkan martabat kultural inilah yang menjadi spirit orang Batak Toba.
Dengan demikian, dapat diprediksi akibat yang muncul ketika hak adat seorang
pribadi tidak diakui dalam satu upacara adat khususnya dalam jambar.
Dari penjelasan ini, nilai menghargai hak
satu pribadi mendapat penekanan dalam jambar. Hal ini juga terjadi dalam
pemerintahan. Semua warga negara memperoleh hal dalam mendapatkan sumber-sumber
daya kehidupan. Negara memiliki kewajiban untuk memberikan hak setiap warga.
Setiap warga berhak untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Ketika ada warga
yang tidak mendapatkan hak ini, kasus ini menjadi indikasi adanya tindakan
koruptif dalam masyarakat. Sumber daya kehidupan tidak dibagikan secara adil.
Martabat subjek sebagai warga negara tidak diakui. Pendidikan harus diberikan
sebagaimana jambar harus dibagikan sesuai hak masing-masing subjek.
b. Jambar dan transparansi
Mengapa protokol pesta harus berteriak
ketika padalan jambar? Dilihat dari segi efisiensi kerja, proses
pembagian jambar ini termasuk buruk. Padalan jambar biasanya
memakan waktu yang lama dan mengakibatkan polusi suara. Apa lagi, ketika
terjadi kesalahan dalam proses ini, beberapa orang akan berteriak untuk
mengingatkan. Akan tetapi, dari sudut keadilan dalam pembagian sumber daya
kehidupan, proses ini menjunjung tinggi nilai transparansi. Semua proses yang
ditunjukkan terlihat dengan jelas tanpa ada yang disembunyikan. Prosesnya
jelas, menyebutkan pihak yang akan menerima, mengumumkan bagian yang akan
didapatkan, memberikan bagian yang sudah diumumkan, mengundang semua orang untuk
menjadi saksi, dan pihak yang telah menerima bagiannya menunjukkan kepada
kyalayak bahwa dia sudah mendapat bagiannya.
Dalam bidang pemerintahan, transparansi
juga menjadi sebuah keharusan. Sumber-sumber daya baik itu uang, barang, jasa,
kekuasaan dan pemikiran harus dibagikan secara terbuka. Terbuka berarti tindak
itu tidak dilakukan tersembunyi-sembunyi. Semua masyarakat juga harus menjadi
saksi atas distribusi semua entitas itu. Fenomena yang sering terjadi adalah
adanya permainan-permainan kotor ketika adanya distribusi hak bagi masyarakat.
Salah satu rahasia umum yang sering terucap mengenai APBN daerah adalah dana
yang harus diberikan ke daerah-daerah telah dipotong disana-sini. Jumlah yang
ditetapkan di pusat tidak sama dengan jumlah yang diterima di daerah. Dan
beberapa tahun setelah itu, media massa memuat adanya kasus korupsi di dalam
proses distribusi dana. Masyarakat hanya bisa mendengar dan marah kepada
pemerintah walau jarang terungkap. Hak mereka ternyata telah dicuri oleh para
pejabat. Semua ini terjadi karena kurangnya ketegasan atas hukum transparansi
dalam distribusi.
Dalam buku laporan Transparency
International Indonesia (TII) dijelaskan, “pengadaan
barang dan jasa adalah lahan basah bagi birokrasi.
Di sana pula korupsi terbesar terjadi di negeri ini. Sebuah studi Bank Dunia
memperkirakan kebocoran uang negara dari sektor ini mencapai 40% dari
keseluruhan proyek.” Laporan ini menegaskan bahwa terjadi
tindakan-tindakan aparat pengadaan barang dan jasa secara besar-besaran. Proses
distribusi barang dan jasa menjadi proses yang memberikan ruang besar bagi para
petugas birokrasi untuk menghancurkan hak dan martabat masyarakat. Sangat jelas
bahwa semua tindakan ini terjadi dalam ketersembunyian. Dan, pihak yang
sebenarnya mengungkap kasus ini tidak memperhatikan prinsip transparansi dan
akuntabilitas. Laporan keuangan hanya sebatas laporan tanpa ada pemeriksaan.
c. Jambar dan pengukuhan relasi
Masyarakat Batak Toba adalah salah satu
paguyuban kultural yang sangat menekankan aspek relasional. Terungkap dalam
sistem Dalihan na Tolu, aspek ini menjadi tujuan utama yang tidak pernah
tinggal dalam semua aktifitas kultur Batak Toba. Sangat benarlah apa kata
Sinaga, “Di mana dan bagaimanapun mereka
bertindak, adatnya selalulah berdasarkan stelsel Dalihan Natolu. Di pasar, di
dalam bus, terutama di rumah, bobot Dalihan Natolu selalu menjadi landasan dan
hakekatnya: sombà marhulahùla, elèk
marbòru, hormàt mardòngan tùbu.” Refleksi Sinaga ini menunjukkan bahwa
segala tindakan orang Batak Toba merupakan tindakan yang relasional berdasarkan
Dalihan Na Tolu. Dan, ini jugalah yang bisa disebut dengan religiositas orang
Batak Toba. Mereka membangun tata adat yang sedimikian jelas karena mereka
yakin bahwa dengan cara itulah mereka dapat menjalin hubungan mereka dengan
Yang Mahatinggi, sesama manusia dan alam.
Demikian juga yang terjadi dalam padalan
jambar. Ketika pengakuan akan hak muncul dalam aktifitas ini, tujuannya
adalah supaya relasi itu terjaga dan dikukuhkan secara sacral. Semua yang hadir
disana bersama-sama mengikatkan diri antar satu dengan yang lain. Ketika satu
pihak hadir dalam upacara adat, secara langsung dia memberikan kewajiban dan
tanggung jawab moral bagi si pemilik pesta untuk menerima mereka dalam
lingkaran Dalihan na Tolu. Ikatan ini mengandaikan adanya relasi etis yang kuat
di antara mereka. Hal senada ditegaskan oleh Emanuel Levinas, “I am
responsible for the other without waiting for reciprocity”.
Relasi etis assimetris yang diproklamirkan oleh Levinas inilah yang muncul
dalam padalan jambar. Pemiliki pesta membangun relasi intersubjektif dengan
semua orang yang hadir disana ketika dia memberikan pengakuan akan harkat dan
martabat mereka.
Bentuk relasi yang demikianlah yang
seharusnya dalam setiap pihak dalam negara. Semua warga negara adalah sama
(subjek) dalam negara. Hak yang dimiliki juga sama. Tidak ada pihak atau
golongan apa pun yang memiliki hak terkhususkan apalagi dalam bidang martabat
manusia. Relasi intersubjektif ini menegaskan bahwa para memerintah ketika
menduduki satu jabatan, dengan sendirinya dia bertanggung jawab untuk menjaga
relasi itu. Tanggung jawab moral secara langsung masuk dalam dirinya atas
keberadaan liyan. Bukankah semua itu akan semakin baik jika dalam distribusi
kekuasaan, misalnya, semua pihak sungguh-sungguh hadir sebagai subjek? Dengan
kata lain, salah satu kontribusi dari padalan jambar adalah bagaimana
pembangunan dan APBN negara seperti halnya jambar juhut, harus dibagi
kepada seluruh rakyat dengan adil dan transparan. Tujuan utamanya adalah agar
relasi antar semua pihak dalam negara tetap terjalin dengan baik dan
diteguhkan.
Temuan dan Saran
Membangkitkan nilai-nilai budaya bangsa
adalah salah satu upaya yang tepat untuk melawan kejahatan-kejahatan korupsi. Upaya
ini menjadi sangat penting karena korupsi tidak hanya menyentuh bagian fisik
sebuah peradaban, tetapi telah merasuki dasar-dasar kemanusiaan. Korupsi tidak
lagi terjadi karena adanya kesempatan, tetapi telah terjadi dengan mencari
kesempatan bahkan merencanakan untuk membuat kesempatan. Dengan kata lain,
kebiasaan koruptif seolah-olah bukan tindakan amoral lagi. Dengan hanya
mengandalkan adanya aturan atau hukum, kejahatan ini tidak mungkin dapat
dihentikan. Harus ada sesuatu yang menggerakkan dari dalam diri manusia.
Nilai-nilai budaya yang membentuk manusia diharapkan dapat mencapai tujuan itu.
Dalam Budaya Batak Toba, salah satu bentuk
budaya yang dapat membangkitkan karakter-karakter anti-korupsi adalah aktifitas
padalan jambar juhut. Beberapa hal pokok yang dapat dilihat dari
aktifitas ini adalah proses, makna aktifitasnya dan juga tujuan dari aktifitas
itu sendiri. Dari segi proses, aktifitas ini menyangkut persiapaan (dalam ritus
pernikahan disebut mangalap ari), kegiatan padalan jambar dan si
penerima mengumumkan bahwa ia telah menerima bagiannya. Makna aktifitas padalan
jambar juhut dapat dimengerti sebagai aktifitas memberikan hak semua
pihak atas sumber daya kehidupan yang ada dan merupakan bentuk pengakuan atas
martabat pihak lain untuk menenjalin dan meneguhkan kembali relasi di antara
mereka. Aspek hak, pengakuan dan relasi adalah yang utama dari aktifitas ini.
Dan, tujuan dari aktifitas itu sendiri terkait dengan seluruh upacara yang
melibatkan semua kosmos. Melalui jambar, orang Batak diingatkan kembali
akan dirinya di tengah dunia yang hidup dalam dunia relasional. Apa sumbangan
dari aktifitas ini dalam ranah membangkitkan nilai-nilai kultural anti-korupsi?
Aktifitas padalan jambar juhut dapat
memberikan kontribusi besar dalam menanamkan budaya anti-korupsi dan dalam
upaya membuat kebijakan anti-koruptif. Kontribusi pertama muncul dari proses mangalap
ari. Mangalap ari memberikan sumbangan mengenai keterlibatan masyarakat
luas dan juga pemerintah dalam menentukan keputusan. Sebagaimana mangalap
ari tidak bisa disahkan tanpa kehadiran Dalihan na Tolu, pengambilan
keputusan dalam pemerintahan pun harusnya demikian. Ada pihak-pihak yang harus
hadir dalam pengambilan keputusan yang harus hadir agar keputusan itu sah. Apa
lagi bila keputusan itu akan menyangkut masyarakat. Dalam berbagai kesempatan,
telah muncul berbagai bentuk kebijakan tanpa menghadirkan pihak masyarakat.
Akhirnya, masyarakat pun hanya dijadikan sebagai penonton passif dalam program
kerja pemerintahan. Seharusnya, masyarakat yang adalah pemegang kekuasaan
tertinggi negara ini selalu hadir dan dihadirkan dalam setiap program itu.
Kontribusi kedua lahir dari proses membagi jambar.
Ketika seorang protokol berteriak untuk membagi jambar, itu bukan
bertujuan untuk meciptakan kebisingan. Teriakan itu sebenarnya adalah undangan
agar masyarakat mengentahui dan mengamati serta memberikan diri sebagai saksi
atas apa yang terjadi dalam proses membagi jambar. Dengan kata lain,
teriakan itu adalah wujud dari transparansi. Dalam pemerintahan, hal ini harus
mendapat penekanan lebih. Transparansi tidak boleh diabaikan. Semua masyarakat
harus menjadi subjek dalam pemerintahan. Subjek berarti dia yang aktif dan partisipatif
dalam proses berjalannya sistem pemerintahan. Dengan demikian, tidak adalagi
aktifitas yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi (padalan jambar di na homi).
Bukankan korupsi adalah pekerjaan yang dilakukan secara tersembunyi? Dengan
kata lain, sembunyi-sembunyi berarti adanya korupsi.
Kontribusi ketiga termanifestasi dalam
aktifitas padalan jambar secara keseluruhan. Keyakinan bahwa Adat itu
berasal dari Allah Tinggi menjadikan orang Batak mampu melihat ini sebagai
aktifitas kudus. Cara pandang ini dapat memberikan penegasan kepada aktifitas
distribusi sumber daya dalam ranah pemerintahan. Seorang pemerintah adalah
seorang utusan Allah Tinggi untuk menjamin kebaikan rakyat. Hal ini dipastikan
dalam proses pemilu atau pengangkatan seorang pejabat pemerintahan. Dengan
demikian, patik dan uhum yang harus dijalankan oleh pejabat
pemerintah adalah perintah dari Allah Tinggi. Pendasaran ini menjadi konfirmasi
bahwa aktifitas distribusi sumber daya, kuasa dan lainnya harus dilakukan atas
dasar kekudusan. Pejabat adalah utusan Allah untuk memberikan kebaikan kepada
manusia (rakyat) yang dipimpinnya. Jadi, aktifitas pemerintah merupakan
aktifitas kekudusan. Semoga.
Artikel ini pernah diikutkan di Lomba Karya Ilmiah yang diadakan oleh globethich.net. Dalam lomba tersebut, artikel ini mendapat kesempatan menduduki Juara I.
Daftar Pustaka
Buku:
Hamzah, A., Korupsi: Dalam Pengelolaan
Proyek Pembangunan. (Jakarta: Akademika Pressindo, 1985).
Haryatmoko, Johannes, Dominasi Penuh
Muslihat: akar kekerasan dan diskriminasi, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2010).
Klitgaard, Robert, Membasmi Korupsi, (Jakarta: Yayasan Obor,
1998).
Levinas, Emmanuel., Responsibility for
the others, dalam Ethics and Infinity (Duquesne University Press, 1985).
Nainggolan, Dr. Togar., Batak Toba:
sejarah dan transformasi religi, (Medan: Bina Media Perintis. 2012).
Noonan,
John T. Jr., Bribes (Berkeley: University of Califomia Press, 1984).
Pope, Jeremi Strategi memberantas
Korupsi: elemen sistem integritas nasional, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2003).
Pranoto, Suhartono W. Bandit Berdasi:
korupsi berjamaah, (Yogyakarta: Kanisius 2008).
Ryan, Leo
V. Combating Corruption: The 21st-Century Ethical Challenge, (Business Ethics Quarterly, Vol. 10, No. 1, Globalization and the
Ethics of Business, Jan.,
2000).
Saenong, Ilham
B., 7 tahun melawan korupsi: kisah sukses masyarakat sipil (Transparency
International Indonesia, 2013).
Sinaga, Dr. Anicetus B., Allah Tinggi
Batak-Toba: transendensi dan Imanensi, (Yogyakarta: Kanisius, 2014).
Sitompul,
AA., Manusia dan
Budaya: Teologi Antropologi (Jakarta:
BPK Gunung Mulia. 2000).
Vargas-Hernández, José G. The Multiple
Faces Of Corruption: Typology, Forms And Levels, dalam Organizational Immunity to
Corruption: Building Theoretical and Research Foundations, diedit oleh Agata
Stachowicz-Stanusch, (Charlotte, NC: Information Age Publising, Inc, 2010).
Internet:
Leo V.
Ryan, Combating Corruption: The 21st-Century
Ethical Challenge,
(Business Ethics Quarterly, Vol. 10,
No. 1, Globalization and the Ethics of Business, Jan., 2000), hlm 331-338
José G. Vargas-Hernández, The
Multiple Faces Of Corruption: Typology, Forms And Levels, dalam Organizational Immunity to Corruption: Building
Theoretical and Research Foundations, diedit oleh Agata Stachowicz-Stanusch,
(Charlotte, NC: Information Age Publising, Inc, 2010), hlm. 132.
Robert Klitgaard, Membasmi Korupsi, (Jakarta: Yayasan Obor,
1998) hlm 8.