Ketika modernitas menawarkan suatu masa pemikiran yang berkemajuan, masyarakat malah cenderung mengalami kemunduran. Modernitas pun menisbikan banyak nilai yang tidak lagi dimiliki oleh masyarakat. Manusia modern justru cenderung mengalami kemunduran dalam mengelola individunya dan masyarakatnya. Kemajuan zaman justru menjadi zaman kemunduran yang signifikan dalam berbagai aspek hidup manusia. Bagaimana tidak, dulu rasa sosial - aku sadar akan keberadaan yang lain - sangat kuat dalam diri masing-masing manusia. Saat ini, nilai itu justru dipandang sebagai aib, kelemahan, ketinggalan zaman. Apakah modernitas mengorbakan semua itu?
Manusia zaman ini sering mendaku diri sebagai subjek yang memiliki pemikiran yang maju. Mereka bangga dengan teknologi yang mereka ciptakan dan gunakan. Gadget dan semua alat komunikasi lainnya sudah menjadi simbol kemajuan. Namun, yang terjadi malah yang sebaliknya. Manusia betul-betul menjadi serigala bagi manusia lainnya - homo homoni lupus. Yang lain adalah ancaman bagi eksistensiku, demikian kira-kira singkatnya.
Pertanyaan kita adalah, mengapa?
Sebagai kumpulan manusia, masyarakat bukan lah sesuatu entitas yang baru. Masyarakat sudah terbentuk sejak manusia ada. Yang membedakan dari masyarakat dulu adalah soal kemajuan. Kemajuan menjadi tolak ukur semua komunitas masyarakat. Masyarakat yang maju adalah kumpulan manusia yang memiliki cara berpikir, karakter, tingkah laku yang maju,
Untuk menciptakan masyarakat yang maju, disusunlah aturan bersama yang harus diikuti baik secara personal maupun komunal atau kelompok. Aturan itu disusun dengan sedemikian rupa untuk mencapai satu tujuan, masyarakat yang aman dan sejahtera.
Berkembangnya zaman menjadi tantangan tersendiri. Teknologi, informatika, gaya hidup dan paradigma pun mempengaruhi manusia secara masif. Tidak ada yang lepas dari perkembangan itu. Persoalan muncul ketika masyarakat tidak siap untuk menerima perubahan itu. Hanya sebagian kecil yang memahami secara utuh apa itu smartphone walau sehari-hari sudah digunakan. Hanya sekolompok kecil - dari seluruh umat manusia - yang mampu memahami informasi yang dia baca setiap harinya. Selebihnya dari yang sedikit itu justru menggunakan teknologi untuk saling menghancurkan.
Satu contoh konkrit dari kemajuan zaman adalah sosial media. In se, sosial media memiliki nilai yang sangat baik: membantu manusia. Dia hadir untuk memberikan kemudahan kepada manusia untuk saling berkomunikasi. Dalam realitas, sosial media malah diciptakan ulang sebagai alat untuk menghancurkan.
Menetapkan arah dan langkah
Ketidakseimbangan perkembangan zaman dan kesiapan manusia untuk mengalami itu sangat jelas mengakibatkan hal-hal buruk. Kesadaran masing-masing individu menjadi alat yang paling utama. Manusia harus mampu membangun dirinya menjadi manusia yang holistik. Manusia modern harusnya sadar bahwa hidup tidak hanya IQ yang tinggi tetapi juga SQ dan EQ nya harus seimbang.
Waktu tidak pernah berhenti, atau kembali. Jika waktu berhenti atau kembali, dengan jelas itu bukan waktu. Sebagai masyarakat manusia, kita hendaknya betul-bentul menyadari arah kita. Tawaran zaman tidak bisa ditolak begitu saja. Diharapkan sebuah kesadaran mendasar terutama dari kelompok muda yang mendaku diri sebagai agents of change.
Di tengah perubahan zaman, manusia harus tetap setia pada zaman hidupnya. Paradigma modernitas pun nampaknya harus diobarak-abrik terlebih dahulu. Untuk menciptakan generasi muda yang mampu membangun suatu tata hidup yang baru, dibutuhkan suatu pemikiran yang jelas. Indonesia adalah negara besar. Dibutuhkan sebuah kesadaran yang besar atas penting semua arah baru yang lebih baik.
duniabatak
Batak untuk Dunia
Selasa, 17 Januari 2017
Selasa, 12 Mei 2015
Anak dalam Budaya Batak
Anak
adalah anugerah terindah yang sering membawa persoalan dalam keluarga.
Kehadiran mereka selalu dinanti—nanti. Bahkan setiap kebudayaan memberikan
upacara tersendiri dalam masa penantian hingga kelahiran seorang anak. Namun,
acap kali itu membawa persoalan.
Sebelum
pernikahan, sepasang calon suami istri umumnya telah merencanakan berapa anak
yang akan mereka miliki. Hingga pemerintah Indonesia di zaman Soeharto pernah
merencanakan KB (Keluarga Berencana).
Dua anak cukup. Itulah slogan utama.
Persoalan
anak menjadi lebih rumit apalagi kalau berkaitan dengan budaya atau adat
istiadat setempat. Di berbagai budaya, memiliki anak mendapat perhatian khusus.
Di dalam budaya Batak khususnya Batak Toba, anak dimengerti sebagai sebuah
kekayaan. Lagu gubahan Nahum Situmorang “Anakhon
hi do hamoran di ahu” menggambarkan secara jelas filosofi ini.
Bila
dilihat lebih dalam lagi dalam budaya Batak Toba tentang anak, Anak laki-laki sering mendapat sorotan utama.
Kehadiran anak laki-laki dalam keluarga Batak Toba sungguh sangat mendapat
perhatian. Bagaimana tidak. Keluarga tanpa anak laki-laki dianggab sebuah aib
dan kegagalan. “Hagabeon”, salah satu kata dari dua kata lainnya (Hamoraon,
Hasangapon) menunjukkan hal ini. Hagabeon berarti memiliki keturunan khususnya
anak laki-laki.
Di
tengah masyarakat modern saat ini, ketegangan antara punya anak laki-laki atau
tidak menjadi persoalan yang sangat penting dalam keluarga. Banyak keluarga
muda Batak Toba sering tidak lagi memperhatikan ini bahkan menolak keharusan
anak laki-laki di tengah keluarga mereka.
Jadi,
kok bisa anak laki-laki begitu penting?
Pertanyaan
ini pernah dijawab oleh seorang teman, karena orang Batak Toba itu adalah suku
patrilinear. Benar. Batak Toba adalah suku dengan sistem kekeluargaan
patrilinear. Marga yang akan dimiliki oleh anak-anak adalah marga bapaknya.
Dengan demikian, tidak ada anak berari marga tidak akan diteruskan lagi dari
seorang Bapak.
Selain
itu, anak laki-laki menjadi penerus nama bagi leluhurnya. Lihat saja. Ketika
seorang lelaki memiliki anak, namanya akan berganti. Bukan lagi Si Karno
Manullang, tetapi Pa. Suharto Manullang karena anaknya bernama Suharto. Ketika
Suharto memiliki anak dan diberi nama Habibie, maka nama Si Karno bukan lagi
Pa. Suharto, tetapi Op. Habibie. Dan, nama itulah yang akan dikenakan di salib
kuburannya ketika dia mati.
Vergouwen
pernah berpendapat. “Dalam pengaturan setiap adat dan kebiasaan yang berlaku
dimasyarakat Batak, kaum laki-laki berperan dalam menentukan jalannya suatu adat
karena masyarakat Batak merupakan penganut sistim garis keturunan Patriakal,
dimana hak menggantikan menurut alur laki-laki secara langsung terwujud melalui
kelahiran anak laki-laki, karena anak laki-laki adalah pelaksana wajar dari kesinambungan
keturunan dari jalur bapak” (Vergouwen, 1986).
Penjelasan
di atas menegaskan bahwa harapan hadirnya anak laki-laki dalam budaya Batak sungguh
tak terbantahkan. Ini bukan soal tidak sesuai zaman. Ini adalah soal pentingnya
sebuah penerus dalam garis keturunan. Namun, harus ditegaskan bahwa anak perempuan juga sangat penting. Kehadiran keduanya adalah kesempurnaan Hagabeon dalam keluarga Batak
Toba.
Kamis, 07 Mei 2015
Tuak: Alkohol dalam Kebudayaan Batak
Minuman beralkohol tidak serta merta memberikan dampak buruk bagi manusia dengan karakter normalnya. Karakter normal dalam hal ini dimengeri bahwa alkohol, sama seperti materi lainnya, dapat berdampak negatif dan positif. Dampak negatifnya memang dapat menimbulkan kematian. Seperti yang dialami oleh beberapa orang muda di Indonesia, mati karena minum minuman oplosan. Di samping itu, minuman beralkohol harus juga diterima sebagai minuman yang dapat berdampak positif. Dengan kata lain, minuman beralkohol memiliki dua sisi tergantung konsumen.
Dalam budaya Batak Toba, ada satu minuman beralkohol yang sangat lazim dikonsumsi. Tuak, itulah nama yang diberikan. Minuman ini diperoleh dari hasil permentasi air aren dengan salah satu kulit kayu yang disebut raru. Paragat, orang yang berprofesi mengambil tuak, tahu persis dalam mengolah air aren ini menjadi tuak. Bahkan, mereka memiliki hubungan yang sangat khusus dengan aren. Bagi mereka, aren ibarat seorang putri yang cantik.
Paradigma ini tentunya membutuhkan suatu cara yang khusus agar aren memberikan airnya bagi si Paragat. Aren harus dibujuk, dihormati, dicintai dan juga dijaga. Menurut mereka, jika itu tidak dilakukan, air yang dihasilkan tidak akan enak. Lebih lagi, bila tidak dilakukan, aren tidak akan memberikan airnya kepada si Paragat.
Bagi orang Batak, minum tuak seyogiyanya tidak pernah didasari pada niat untuk mabuk, tunjukkan kekuatan atau alasan buruk lainnya. Tuak hanya diminum untuk tujuan yang baik. Itulah mengapa, tuak selalu dikonsumsi secara bersama.
Kebiasaan ini pada akhirnya melahirkan budaya marmitu (marende dohot minum tuak/bernyanyi sambil minum tuak). Namun, aktifitas ini juga mengandung kegiatan diskusi, bercanda gurau, dan ngobrol ringan. Di kampung-kampung, biasanya minum tuak dilakukan di lapo/kedai tuak. Beberapa laki-laki akan berkumpul di sore hari menikmati tuak sore.
Budaya minum tuak di lapo ini menjadi sangat menarik untuk dipahami. Aktifitas marmitu di lapo memberikan banyak dampak positip. Sambil menyeruput sepatnya tuak pasti ada pembicaraan seputar kehidupan mereka, tentan pekerjaan, tentang keluarga hingga tentang politik. Di group lain pada lapo yang sama, akan melantunkan beberapa album lagu. Lantunan merdu tanpa teks dan tanpa not membuat mereka lebih ekspresif dalam bernyanyi. Maka, tidak usah heran jika suasana di lapo kadang sangat berisik. Itu bukan pembicaraan kosong atau nyanyian fals. Kegiatan itu selalu punya arti bagi mereka.
Bagaimana kalau dalam suatu lapo tidak ada tuak. Jika hal ini terjadi, dapat dipastikan bahwa lapo itu akan tidak dapat pengunjung. Semua orang akan mencari lapo lain yang menyediakan tuak.Artinya, tuak adalah daya tarik utama dan pertama untuk pengunjung.
Saya tidak bisa membayangkan jika suatu saat nanti diterbitkan undang-undang penghapusan alkohol dari bumi Indonesia ini. Mungkin, orang Batak akan maju di barisan pertama untuk menolak. Pemerintah harus mempertimbangkan ini. Kehadiran tuak tidaklah selalu berdampak negatif. Ada begitu banyak dampak positip. Jangan salah, ada berbagai ide cemerlang yang muncul dari lapo tuak. Ada begitu banyak cipta karya seni yang lahir dari segelas tuak.
Tuak, walau pun hanya minuman tradisional, tidak pernah sehebat minuman impor. Apa pun pendapat orang atau kelompok yang mendukung pelarangan minuman beralkohol, jangan sampai tuak dihapuskan.
Selasa, 05 Mei 2015
Jambar Juhut: Praktik Kultural Anti-korupsi Batak Toba
Abstract
Corruption is a problem of civilization and finally into
a cultural problem. Due to cultural matters, corruption must be confronted with
reviving the cultural values of anti-corruptive. Learning from anti-corruptive, local cultures
can be a potent weapon to fix corrupt tendencies of a state. Beliefs in the
high local cultural values become the basics of these efforts. The whole
value of it can be a basic reference against the tendency. In other words, the
culture will form the human beings who live in that civilization. One of the
activities in traditional ceremonies of Batak Toba is mambagi jambar
(share pieces of meat to certain parties). This
article aspires to offer an overview of these activities, as unitary of the
cultural activities of the anti-corruptive. By basing the writing on ethnographic interviews, and
analysis of any related text, the author describes this discussion in a
systematic paper. In the first part, the introduction of global corruption is
in issue and the issue of corruption in Indonesia is an example of a major
problem. In the second part, how the activity padalan jambar juhut in
Toba Batak culture leads us to understand the position of the activity in the
local Batak Toba culture. The last part in addition helps us to know about
these activities, and the contributions of this activity in an effort to revive
the cultural values of the anti-corruptive.
Keywords: Jambar, culture, corruption, anti-corruption, relation
Introduction
Persoalan korupsi tidak hanya persoalan material,
tetapi juga persoalan yang sangat mendasar dalam diri manusia. Manusia
merupakan mahluk relasional. Hakekat kemanusiaan ini rusak ketika adanya pihak merusak
hubungan di antara manusia. Dalam hal ini, korupsi selalu memiliki makna
rusaknya relasi. Ketika tindakan koruptif terjadi atau dijadikan, saat itu juga
relasi antara manusia rusak. Dengan kata lain, tindakan koruptif adalah
peniadaan relasi.
Seluruh hidup manusia senantiasa dilingkupi
dengan terjadinya proses relasi. Tidak seorang pun manusia yang hidup tanpa
adanya relasi. Bahkan, boleh dikatakan, salah satu tujuan hidup manusia adalah
membangun relasi dan menjaga relasi itu. Ketika orang bergerak dalam dunia
bisnis, saat itu dia berada di antara berbagai subjek dengan siapa dia
membangun relasi itu (net working). Dalam dunia religi, relasi ini
menjadi sangat tampak dalam dogma, Kitab Suci, dan juga tindakan manusia.
Religi dengan demikian pada hakekatnya bicara soal relasi manusia dengan Yang
Maha Tinggi, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam. Bahkan, ketika
manusia sendirian, dia hidup dalam relasi dengan dirinya sendiri. Relasi adalah
dunia real manusia.
Dalam sejarah peradaban manusia, relasi itu
ditata dengan baik dalam budaya. Budaya menjadi produk-produk relasi manusia
yang pada waktunya bertujuan untuk menjaga relasi itu. Ketika manusia tercipta
dalam rahim dan masuk dalam sistem budaya tertentu, manusia langsung masuk
dalam semesta yang relasional. Manusia membentuk dan dibentuk dalam budaya itu memampukan
manusia untuk menjadi manusia yang berbudaya. Dengan kata lain, manusia yang
berbudaya adalah manusia yang dengan total memperjuangkan segala relasinya agar
tetap terjaga dan semakin baik. Budaya menjadi salah satu cara yang sangat
efisien untuk mencegah terjadinya atau semakin berkembangnya karakter-karakter anti-koruptif
suatu bangsa[2].
Salah satu bentuk budaya yang terdapat di
Indonesia khususnya dalam kebudayaan Batak Toba adalah aktifitas “mambagi
jambar”. Aktifitas cultural ini muncul dalam setiap upacara adat Batak Toba.
Dengan prisip dasar Dalihan Na Tolu (DNT), aktifitas ini diatur dengan
sedemikian rupa agar relasi antar pihak yang termasuk dalam DNT tetap terjaga
dan semakin erat. Mambagi jambar dengan kata lain adalah aktifitas
penjagaan relasi antar beberapa pihak yang terkait dalam suatu upacara. Bentuk
relasi apa yang diperjuangkan dalam aktifitas itu? Apakah budaya mambagi
jambar hanya memiliki arti dalam upacara? Atau, adakah nilai lain yang
secara langsung terungkap dari budaya itu?
Dalam artikel ini, penulis akan menganalisa
bagaimana mambagi jambar menjadi salah satu aktifitas yang menanamkan
nilai-nilai anti-koruptif dalam kebudayaan Batak Toba. Ketika dilaksanakan
dengan penghayatan yang mendalam, budaya itu akan dengan sendirinya membentuk
karakter-karakter anti-koruptif dalam diri setiap individu upacara itu. Selain
itu, bagaimana cara untuk mencegah tindakan korupsi juga muncul dalam budaya mambagi
jambar. Keseluruhan analisis ini akan dirangkum dalam bentuk temuan-temuan
baru dari kedua tema besar ini, kearifan lokal anti-koruptif Batak Toba dalam
budaya mambagi jambar.
Berkenalan dengan Korupsi
Korupsi bukanlah fenomena yang baru. Yang
baru adalah modusnya. Korupsi sudah ada sejak manusia ada. Bahkan, Kitab Suci dari
beberapa agama telah melaporkan tindakan koruptif walau belum menggunakan kata
korupsi. Leo V. Ryan menyatakan bahwa
dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, “corruption
is characterized by widespread bribery”. In
the Old Testament God tells Moses "Neither shalt thou take bribes which
blind the wise and prevent the words of the just"[3]. John T. Noonan, pernah mengalisa sejarah tentang suap,
“it has a history, divisible into discernible epochs”[4].
Dari penelitian sejarah ini, Noonan, meneliti sejak tahun 3000 SM. Hasil ini
menunjukkan bahwa praktek korupsi dalam segala bentuknya telah lama terjadi
dalam kebudayaan manusia. Dan, hingga kini, yang berkembang adalah cara-caranya
(modus). Dalam artikel ini, penulis tidak berkehendak untuk menganalisa
bentuk-bentuk korupsi secara detail. Yang harus menjadi fokus adalah mencari
cara untuk mengikis kejahatan bersistem ini dari peradaban manusia.
Secara etimologis, korupsi berasal dari
kata latin corruption atau corruptus. Corruption sendiri
berasal dari kata corrumpere yang bermakna membusuk, merusak, menggoyahkan, memutarbalik dan
menyogok. Kemudian, muncul dalam bahasa Inggris dan Prancis Corruption,
dalam bahasa Belanda Korruptie, selanjutnya dalam bahasa Indonesia
dengan sebutan Korupsi.[5]
Weber mengembangkan sebuah tipologi korupsi pada dasar intense subjektif yang
memiliki harapan individual seperti perolehan kekuasaan dan pengaruh,
kesuksesan ekonomi dan bisnis, memperkaya diri sendiri, motif-motif social,
kesempatan, dll.[6]
Etimologi dan tipologi ini secara senada menegaskan bahwa korupsi merupakan
tindakan yang merugikan dan merusak tatanan sosial karena kepentingan pribadi.
Dengan kata lain, korupsi adalah kejahatan yang melibatkan banyak orang sebagai
korban. Jeremi Pope menegaskan perusakan tatanan berbagai aspek ini, “korupsi merusak
kesehatan ekonomi dan social serta kehidupan kapan saja dan di negara mana saja
terjadi, dan apa pun tahap pembangunan yang telah dicapai.”[7]
Dalam beberapa dekade terakhir, ketika
penyebutan “Dunia Ketiga” muncul, praktek-praktek korupsi telah meraja lelala
di negara-negara tersebut. Negara-negara Dunia Ketika yang sedang mengalami
proses perkembangan menjadi lahan yang sangat baik untuk mekarnya sifat-sifat
koruptif. Robert Klitgaard menegaskan bahwa “Praktek-praktek jahat
menyebar di negara-negara berkembang. Jelas kita tidak bisa memukul rata,
tetapi korupsi oleh pejabat pemerintah barangkali merupakan salah satu dari
tiga atau empat masalah paling merugikan yang dihadapi Dunia Ketiga.”[8]
Dalam proses perkembangan ini, pemerintah dan/dengan koleganya dengan sangat
mudah melegalkan praktek kejahatan social atas nama pembangunan. Sejarah
Indonesia menjadi bukti nyata akan fenomena korupsi di negara berkembang ini.
Persoalan korupsi di Indonesia merupakan
persoalan yang sangat fenomenal. Bahkan, Pranoto menyebutnya sebagai “korupsi
berjemaah”.[9]
Hal ini ditegaskan oleh Transparency International (TI) di Berlin dengan
menobatkan Indonesia sebagai negara dan bangsa terkorup no 6 di dunia dari 133
negara dunia yang diteliti. Dan pada tahun 2004, bangsa Indonesia kembali
dinobatkan sebagai bangsa terkorup no 5 dari 146 negara.[10]
Pada hal, Negara Indonesia telah memiliki hukum yang jelas atas tindakan ini.
Dalam Pasal 2 Undang-Undang no 31 tahun 1999 yang telah diubah menjadi
Undang-Undang no 20 tahun 2001 dinyatakan “(1) Setiap
orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup
atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). (2)
Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan
dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.” Mengapa Indonesia masih terpuruk dalam peringkat
ke 5 bisa terjadi? Haryatmoko memberi jawaban karena “korupsi di Indonesia
sudah menjadi kejahatan structural, yaitu kekerasan sebagai hasil interaksi sosial
yang berulang dan berpola yang menghambat banyak orang untuk bisa memenuhi
kebutuhan dasar.”[11]
Keberadaan praktek-praktek korupsi di Indonesia telah memberikan dampak yang
sangat besar bagi bangsa dan negara. Jarak antara orang kaya dan miski yang
melewati batas dan bobroknya pemerintahan menjadi bukti nyata dari kejahatan sosial
ini.
Dari penjelasan ini, dapat disimpulkan
bahwa korupsi adalah rusaknya relasi. Setiap tindakan korupsi akan memberikan
dampak terhadap hubungan antara beberapa pihak. Segala tipologi korupsi baik
itu korupsi ekonomi, social dan administrasi publik selalu mengarah kepada
pihak-pihak yang dirugikan. Bahkan, dalam kasus suap pun, ada pihak yang
dirugikan dan akan dirugikan. Secara tidak sadar, para pelaku korupsi juga
telah merugikan harkat dan martabat dirinya sebagai pelaku korupsi. Maka,
sangat benar jika tindakan korupsi dijadikan sebagai salah satu dari tiga
tindakan kejahatan terbesar di negara ini selain narkoba dan terorisme. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa, tindakan korupsi adalah salah satu aib
terbesar yang merusak harga diri seorang manusia. Relasi dengan dirinya hancur.
Jambar dalam Budaya Batak Toba
Ciri utama masyarakat Batak adalah tata
adat kemasyarakatannya yang disebut “Masyarakat Dalihan Natolu”. Tata adat ini
selalu muncul dalam setiap pengungkapan adat Batak Toba. Ada tiga pihak yang
termasuk dalam sistem ini yaitu: hula-hula (kelompok pemberi istri), boru
(kelompok penerima istri), dan dongan sabutuha (kelompok yang
berasal dari satu perut atau kelompok yang satu marga) dengan raja huta sebagai
pemersatu. Semua pihak ini harus ada dalam setiap upacara adat agar adatnya dapat
dinyatakan sah. Dan setiap orang yang hadir ke dalam sebuah upacara adat pasti
sudah mengetahui posisinya, apakah dia hula-hula, boru atau dongan tubu.
Falsafah Batak ini juga yang membentuk relasi ketiga pihak itu, sombà marhulahùla (bersikap sembah terhadap hula-hula), elèk marbòru (bersikap membujuk kepada boru), hormàt mardòngan tùbu (bersikap hati-hati terhadap teman
semarga). Dan, falsafah inilah yang menjiwai aktifitas padalan jambar.
Kata jambar merupakan istilah yang
sangat penting dalam budaya Batak. Menurut kamus elektronik Batak-Indonesia, ”Jambar adalah bagian, pembagian yang seorang berhak menerima
menurut adat; marjambar, mendapat bagian, dapat jatah; parjambaran,
penjatahan bagian daging binatang sembelihan yang berhak diterima seseorang; manjambari,
membagi dalam bagian-bagian, menjatah”[12]
Defenisi ini menegaskan bahwa adanya hak dan kewajiban merupakan alasan mengapa
terjadi pembagian itu. Semua hak itu harus terpenuhi agar upacara dimana
aktifitas mambagi jambar itu dapat berlangsung dengan baik. Dengan
demikian, jambar merupakan suatu keharusan dalam suatu
upacara adat Batak Toba. Apa lagi, menurut AA. Sitompul, ada dua alasan utama mengapa jambar
menjadi sangat penting dalam upacara adat. Pertama, jambar menentukan
kedudukan seseorang dalam status
sosialnya; dan kedua, dalam pembagian jambar, hak dan kewajiban
harus dimanifestasikan sebagai tanda solidaritas kebersamaan (komunitas) dan
kegotong-royongan masyarakat adat.[13] Berdasarkan alasan di atas, jambar menjadi
satu cara untuk menunjukkan kehadiran ketika kelompok DNT. Ketika upacara adat
sampai pada pembagian jambar, saat itulah manifestasi tanda solidaritas
kebersamaan itu muncul secara nyata. Sikap sembah kepada hula-hula, boru dan
dongan tubu terwujud ketika
bagian mereka diberikan dengan baik dan dalam porsi yang tepat.
Dalam kultur Batak terdapat tiga jenis
jambar, pertama: jambar juhut (hak untuk mendapat bagian atas hewan
sembelihan dalam acara; kedua: jambar hata (hak untuk mendapatkan
kesempatan berbicara; ketiga: jambar ulaon (hak untuk mendapat peran dan
tugas dalam pekerjaan publik atau komunitas. Dalam pembagian ini, tidak terjadi
pemisahan secara rigid karena ketiganya tetap memiliki keterkaitan. Keterkaitan
itu menjadi sangat jelas dalam kepribadian orang Batak yang dibentuk oleh
aktifitas ini. Dalam kehidupan sehari-hari, orang Batak selalu merasa diri
bahwa dia memiliki ketiga hak ini: hak berbicara, hak mendapat sumber
kehidupan, dan hak untuk mendapat peran dalam masyarakat. Dengan demikian,
pendefisiaan istilah jambar menjadi proses perwujudan hak, pengakuan
atas pribadi yang lain dan peneguhan relasi merupakan defenisi yang lebih
tepat.
Dari ketiga jenis jambar di atas, jambar
juhut yang lebih relevan dalam menanggapi kebiasan koruptif. Jambar
juhut dilakukan dalam upacara adat Batak yang di dalamnya terdapat
penyembelihan hewan. Dalam tata aturan adat Batak yang disebut patik dohot
uhum[14]
(perintah dan hukum), telah ditentukan dengan jelas bagian-bagian mana saja
dari hewan itu yang harus diberikan kepada masing-masing pihak: hula-hula,
boru dan dongan tubu. Misalnya, rungkung ni pinahan (potongan
daging bagian leher hewan) harus diberikan kepada pihak boru. Dalam
acara pernikahan, aturan pembagian ini kadang kala berbeda di antara satu
daerah dengan di daerah lain. Karena adanya perbedaan ini, sebelum pelaksanaan
upacara, para raja, pihak laki-laki dan pihak perempuan akan bertemu dalam acara
mangalap ari[15]. Segala sesuatu yang disepakati dalam
pertemuan itu akan dilakukan dalam upacara adat.
Padalan jambar juhut akan dilaksanakan sebelum acara manghatai
adat (acara dimana semua pihak duduk bersama untuk membicarakan tujuan dan
isi dari pelaksanaan adat). Parhobas (pelayan pesta) dan pambagi
jambar (pembagi jambar atau protokol) memiliki peranan yang sangat
penting dalam acara ini[16].
Merekalah yang akan membagikan daging di depan semua orang yang hadir di pesta.
Ungkapan “jolo sineat hata asa sineat juhut” (lebih dulu mengumumkan
bagian jambar kepada pihak tertentu sebelum memotong daging), menjadi prinsip yang
sangat penting kedua peran ini. Protokol pesta biasanya meneriakkan, “jambar
tu hula-hula” (jambar kepada hula-hula). Setelah diumumkan,
pelayan akan memotong bagian yang harus diberikan kepada hula-hula.
Pelayan akan memberikan daging itu kepada protokol dan protokol akan
menunjukkan daging itu sambil mengumumkan,
“on ma jambar tu hula-hula” (inilah jambar kepada hula-hula).
Demikian selanjutnya hingga semua pihak mendapatkan jambarnya
masing-masing.
Menurut A. Simbolon[17]
“Dang boi asal mangido jambar. na patut tu hita do sijaloonta, alana ingkon
tahargai do jolma na lebih patut manjalo i ” (kita tidak boleh sembarangan
menerima jambar. Yang pantas untuk kitalah yang harus kita terima, karena
kita harus menghormati orang yang lebih layak untuk menerima itu). Pernyataan
ini menegaskan bahwa dalam pembagian jambar, semua orang harus jujur dan
tidak boleh sembarangan dalam menerima apa yang tidak pantas untuk diterima.
Ada kalanya, protokol bersalah. Dalam hal ini, semua orang yang ada dalam pesta
menjadi saksi. Jadi, semua pihak harus jujur dengan perannya dalam pesta.
Belajar dari kasus[18].
Menurut A. Simbolon, pernah terjadi dalam beberapa pesta kesalahan dalam proses
padalan jambar (membagikan jambar). Kasus pertama adalah protokol
pesta memberikan jambar kepada seorang hula-hula. Dalam pesta. ada
beberapa hula-hula mereka yang hadir yang berasal dari satu kakek. Akan
tetapi, protokol memberikan jambar itu kepada anak ke tiga dari keluarga
itu pada hal hadir juga anak pertama. Ketika jambar ini diberikan, beberapa
orang yang hadir dalam pesta itu langsung berteriak bahwa itu salah. Dalam
kasus ini, peranan paniroi adat (penasehat adat): raja huta dan natua-tua
(orang tua) menjadi sangat penting. Dengan kata lain, ketika terjadi
kesalahan dalam proses ini, orang yang hadir di dalam pesta akan berperan sebagai
saksi.
Kasus kedua adalah marhomi-homi (diam-diam)
mengambil daging untuk dirinya sendiri. Dalam suatu pesta, salah seorang dari
pihak dongan tubu bekerja sama dengan seorang parhobas untuk
mengambil daging pesta. Dongan tubu itu memberikan satu ceret teh kepada
parhobas. Lalu, parhobas itu mengembalikan ceret itu lalu memasukkan
beberapa potong daging pesta ke dalamnya. Perlakuan mereka terbongkar ketika ada
salah seorang ingin mengambil air dari ceret itu. Dan, yang keluar bukan air
tetapi darah daging itu. Mengetahui peristiwa itu, kedua orang tersebut dihukum
secara adat. Menurut A. Simbolon, kelakuan mereka disebut dengan mambagi
jambar di na homi (membagi jambar secara sembunyi-sembunyi). Kasus ini
menjelaskan bahwa padalan jambar harus dilakukan secara transparan dan
tidak boleh mengambil bagian yang bukan bagiannya.
Jambar dalam budaya Batak Toba menjadi bagian yang
sangat penting karena menyimbolkan beberapa pokok penting: relasi pihak-pihak DNT,
eksistensi manusia, status adat serta prinsip keadilan dan kejujuran. Seorang
manusia Batak Toba tidak pernah lepas dari semua hal ini karena ini sangat
didasari oleh falsafat Dalihan na Tolu. Bagi seorang Batak, hubungan
kekerabatan merupakan relasi yang sangat penting. Bahkan, konsep ini yang
mendasari pandangan orang Batak terhadap kematian. “Kekeluargaan merupakan
nafas hidup kami. Kematian hanya memisahkan hubungan jasmani tetapi bukan
ikatan keluarga”[19]
Ikatan ini membuat pengakuan akan harkat dan martabat serta status adat menjadi
hal yang sangat sentral. Ketika upacara padalan jambar dilakukan, semua
entitas ini muncul secara langsung dan bersamaan. Ketika terjadi kesalahan atau
kelalaian dalam aktifitas ini, terputusnya relasi dan gagalnya upacara adat
sangat mungkin terjadi.
Mambagi Jambar dan budaya anti-koruptif
Aktifitas padalan
jambar dalam upacara adat Batak Toba adalah hasil daya cipta budi manusia
dengan mendasarkannya pada adat. Tujuan utamanya sudah jelas untuk mengatur
tata relasi masyarakat. Ketika aktifitas ini dimasukkan dalam upacara adat,
aktifitas ini menjadi sangat penting untuk direfleksikan. Apa lagi, peranannya
yang sangat penting dalam adat menunjukkan bahwa adanya nilai kultural yang
ingin ditekankan dalam jiwa semua anggota masyarakat. Dengan kata lain, ada
sebuah harapan bahwa nilai-nilai itu juga yang pada akhirnya membentuk karakter
orang yang selalu melakukannya. Bukankah karakter itu lahir dari kebiasaan yang
dilakukan dalam keseharian? Berangkat dari argument tersebut, yang menjadi
pertanyaan adalah bagaimana bentuk-bentuk nilai kultural anti-koruptif yang
hendak ditanamkan melalui aktifitas padalan jambar?
a. Jambar dan pengakuan hak
Jambar juhut selalu menunjuk pengakuan akan hak
tiap-tiap orang yang secara kultural telah ditentukan dalam suatu upacara adat.
Hak mereka adalah mendapat bagian dari sumber-sumber daya kehidupan. Dalam
upacara adat, hewan yang disembelih adalah hewan yang sudah diberkati atau
disucikan tanpa atau dengan menggunakan ritual khusus. Artinya, ketika hewan
tertentu dimasukkan dalam tataran upacara adat, hewan itu sudah terberkati.
Daging yang dihasilkan dari hewan ini diyakini sebagai sumber kehidupan atau
berkat dari Debata Mula Jadi na Bolon. Kehadiran rahmat illahi dalam
daging itu menjadikannya sebagai simbol yang penting dan harus didapatkan
sesuai dengan hak.
Pengakuan akan hak dalam aktifitas tersebut
merupakan tindakan yang mendasar bagi masyarakat Batak Toba. Pengakuan ini
secara langsung mengangkat martabat seseorang secara kultural. Perlu diketahui
bahwa adat merupakan entitas yang hakiki. Seorang Batak akan mendapat pengakuan
jika dia sudah menikah dan melakukan pesta adat. Perjuangan hidup untuk
mendapatkan martabat kultural inilah yang menjadi spirit orang Batak Toba.
Dengan demikian, dapat diprediksi akibat yang muncul ketika hak adat seorang
pribadi tidak diakui dalam satu upacara adat khususnya dalam jambar.
Dari penjelasan ini, nilai menghargai hak
satu pribadi mendapat penekanan dalam jambar. Hal ini juga terjadi dalam
pemerintahan. Semua warga negara memperoleh hal dalam mendapatkan sumber-sumber
daya kehidupan. Negara memiliki kewajiban untuk memberikan hak setiap warga.
Setiap warga berhak untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Ketika ada warga
yang tidak mendapatkan hak ini, kasus ini menjadi indikasi adanya tindakan
koruptif dalam masyarakat. Sumber daya kehidupan tidak dibagikan secara adil.
Martabat subjek sebagai warga negara tidak diakui. Pendidikan harus diberikan
sebagaimana jambar harus dibagikan sesuai hak masing-masing subjek.
b. Jambar dan transparansi
Mengapa protokol pesta harus berteriak
ketika padalan jambar? Dilihat dari segi efisiensi kerja, proses
pembagian jambar ini termasuk buruk. Padalan jambar biasanya
memakan waktu yang lama dan mengakibatkan polusi suara. Apa lagi, ketika
terjadi kesalahan dalam proses ini, beberapa orang akan berteriak untuk
mengingatkan. Akan tetapi, dari sudut keadilan dalam pembagian sumber daya
kehidupan, proses ini menjunjung tinggi nilai transparansi. Semua proses yang
ditunjukkan terlihat dengan jelas tanpa ada yang disembunyikan. Prosesnya
jelas, menyebutkan pihak yang akan menerima, mengumumkan bagian yang akan
didapatkan, memberikan bagian yang sudah diumumkan, mengundang semua orang untuk
menjadi saksi, dan pihak yang telah menerima bagiannya menunjukkan kepada
kyalayak bahwa dia sudah mendapat bagiannya.
Dalam bidang pemerintahan, transparansi
juga menjadi sebuah keharusan. Sumber-sumber daya baik itu uang, barang, jasa,
kekuasaan dan pemikiran harus dibagikan secara terbuka. Terbuka berarti tindak
itu tidak dilakukan tersembunyi-sembunyi. Semua masyarakat juga harus menjadi
saksi atas distribusi semua entitas itu. Fenomena yang sering terjadi adalah
adanya permainan-permainan kotor ketika adanya distribusi hak bagi masyarakat.
Salah satu rahasia umum yang sering terucap mengenai APBN daerah adalah dana
yang harus diberikan ke daerah-daerah telah dipotong disana-sini. Jumlah yang
ditetapkan di pusat tidak sama dengan jumlah yang diterima di daerah. Dan
beberapa tahun setelah itu, media massa memuat adanya kasus korupsi di dalam
proses distribusi dana. Masyarakat hanya bisa mendengar dan marah kepada
pemerintah walau jarang terungkap. Hak mereka ternyata telah dicuri oleh para
pejabat. Semua ini terjadi karena kurangnya ketegasan atas hukum transparansi
dalam distribusi.
Dalam buku laporan Transparency
International Indonesia (TII) dijelaskan, “pengadaan
barang dan jasa adalah lahan basah bagi birokrasi.
Di sana pula korupsi terbesar terjadi di negeri ini. Sebuah studi Bank Dunia
memperkirakan kebocoran uang negara dari sektor ini mencapai 40% dari
keseluruhan proyek.”[20] Laporan ini menegaskan bahwa terjadi
tindakan-tindakan aparat pengadaan barang dan jasa secara besar-besaran. Proses
distribusi barang dan jasa menjadi proses yang memberikan ruang besar bagi para
petugas birokrasi untuk menghancurkan hak dan martabat masyarakat. Sangat jelas
bahwa semua tindakan ini terjadi dalam ketersembunyian. Dan, pihak yang
sebenarnya mengungkap kasus ini tidak memperhatikan prinsip transparansi dan
akuntabilitas. Laporan keuangan hanya sebatas laporan tanpa ada pemeriksaan.
c. Jambar dan pengukuhan relasi
Masyarakat Batak Toba adalah salah satu
paguyuban kultural yang sangat menekankan aspek relasional. Terungkap dalam
sistem Dalihan na Tolu, aspek ini menjadi tujuan utama yang tidak pernah
tinggal dalam semua aktifitas kultur Batak Toba. Sangat benarlah apa kata
Sinaga, “Di mana dan bagaimanapun mereka
bertindak, adatnya selalulah berdasarkan stelsel Dalihan Natolu. Di pasar, di
dalam bus, terutama di rumah, bobot Dalihan Natolu selalu menjadi landasan dan
hakekatnya: sombà marhulahùla, elèk
marbòru, hormàt mardòngan tùbu.”[21] Refleksi Sinaga ini menunjukkan bahwa
segala tindakan orang Batak Toba merupakan tindakan yang relasional berdasarkan
Dalihan Na Tolu. Dan, ini jugalah yang bisa disebut dengan religiositas orang
Batak Toba. Mereka membangun tata adat yang sedimikian jelas karena mereka
yakin bahwa dengan cara itulah mereka dapat menjalin hubungan mereka dengan
Yang Mahatinggi, sesama manusia dan alam.
Demikian juga yang terjadi dalam padalan
jambar. Ketika pengakuan akan hak muncul dalam aktifitas ini, tujuannya
adalah supaya relasi itu terjaga dan dikukuhkan secara sacral. Semua yang hadir
disana bersama-sama mengikatkan diri antar satu dengan yang lain. Ketika satu
pihak hadir dalam upacara adat, secara langsung dia memberikan kewajiban dan
tanggung jawab moral bagi si pemilik pesta untuk menerima mereka dalam
lingkaran Dalihan na Tolu. Ikatan ini mengandaikan adanya relasi etis yang kuat
di antara mereka. Hal senada ditegaskan oleh Emanuel Levinas, “I am
responsible for the other without waiting for reciprocity”.[22]
Relasi etis assimetris yang diproklamirkan oleh Levinas inilah yang muncul
dalam padalan jambar. Pemiliki pesta membangun relasi intersubjektif dengan
semua orang yang hadir disana ketika dia memberikan pengakuan akan harkat dan
martabat mereka.
Bentuk relasi yang demikianlah yang
seharusnya dalam setiap pihak dalam negara. Semua warga negara adalah sama
(subjek) dalam negara. Hak yang dimiliki juga sama. Tidak ada pihak atau
golongan apa pun yang memiliki hak terkhususkan apalagi dalam bidang martabat
manusia. Relasi intersubjektif ini menegaskan bahwa para memerintah ketika
menduduki satu jabatan, dengan sendirinya dia bertanggung jawab untuk menjaga
relasi itu. Tanggung jawab moral secara langsung masuk dalam dirinya atas
keberadaan liyan. Bukankah semua itu akan semakin baik jika dalam distribusi
kekuasaan, misalnya, semua pihak sungguh-sungguh hadir sebagai subjek? Dengan
kata lain, salah satu kontribusi dari padalan jambar adalah bagaimana
pembangunan dan APBN negara seperti halnya jambar juhut, harus dibagi
kepada seluruh rakyat dengan adil dan transparan. Tujuan utamanya adalah agar
relasi antar semua pihak dalam negara tetap terjalin dengan baik dan
diteguhkan.
Temuan dan Saran
Membangkitkan nilai-nilai budaya bangsa
adalah salah satu upaya yang tepat untuk melawan kejahatan-kejahatan korupsi. Upaya
ini menjadi sangat penting karena korupsi tidak hanya menyentuh bagian fisik
sebuah peradaban, tetapi telah merasuki dasar-dasar kemanusiaan. Korupsi tidak
lagi terjadi karena adanya kesempatan, tetapi telah terjadi dengan mencari
kesempatan bahkan merencanakan untuk membuat kesempatan. Dengan kata lain,
kebiasaan koruptif seolah-olah bukan tindakan amoral lagi. Dengan hanya
mengandalkan adanya aturan atau hukum, kejahatan ini tidak mungkin dapat
dihentikan. Harus ada sesuatu yang menggerakkan dari dalam diri manusia.
Nilai-nilai budaya yang membentuk manusia diharapkan dapat mencapai tujuan itu.
Dalam Budaya Batak Toba, salah satu bentuk
budaya yang dapat membangkitkan karakter-karakter anti-korupsi adalah aktifitas
padalan jambar juhut. Beberapa hal pokok yang dapat dilihat dari
aktifitas ini adalah proses, makna aktifitasnya dan juga tujuan dari aktifitas
itu sendiri. Dari segi proses, aktifitas ini menyangkut persiapaan (dalam ritus
pernikahan disebut mangalap ari), kegiatan padalan jambar dan si
penerima mengumumkan bahwa ia telah menerima bagiannya. Makna aktifitas padalan
jambar juhut dapat dimengerti sebagai aktifitas memberikan hak semua
pihak atas sumber daya kehidupan yang ada dan merupakan bentuk pengakuan atas
martabat pihak lain untuk menenjalin dan meneguhkan kembali relasi di antara
mereka. Aspek hak, pengakuan dan relasi adalah yang utama dari aktifitas ini.
Dan, tujuan dari aktifitas itu sendiri terkait dengan seluruh upacara yang
melibatkan semua kosmos. Melalui jambar, orang Batak diingatkan kembali
akan dirinya di tengah dunia yang hidup dalam dunia relasional. Apa sumbangan
dari aktifitas ini dalam ranah membangkitkan nilai-nilai kultural anti-korupsi?
Aktifitas padalan jambar juhut dapat
memberikan kontribusi besar dalam menanamkan budaya anti-korupsi dan dalam
upaya membuat kebijakan anti-koruptif. Kontribusi pertama muncul dari proses mangalap
ari. Mangalap ari memberikan sumbangan mengenai keterlibatan masyarakat
luas dan juga pemerintah dalam menentukan keputusan. Sebagaimana mangalap
ari tidak bisa disahkan tanpa kehadiran Dalihan na Tolu, pengambilan
keputusan dalam pemerintahan pun harusnya demikian. Ada pihak-pihak yang harus
hadir dalam pengambilan keputusan yang harus hadir agar keputusan itu sah. Apa
lagi bila keputusan itu akan menyangkut masyarakat. Dalam berbagai kesempatan,
telah muncul berbagai bentuk kebijakan tanpa menghadirkan pihak masyarakat.
Akhirnya, masyarakat pun hanya dijadikan sebagai penonton passif dalam program
kerja pemerintahan. Seharusnya, masyarakat yang adalah pemegang kekuasaan
tertinggi negara ini selalu hadir dan dihadirkan dalam setiap program itu.
Kontribusi kedua lahir dari proses membagi jambar.
Ketika seorang protokol berteriak untuk membagi jambar, itu bukan
bertujuan untuk meciptakan kebisingan. Teriakan itu sebenarnya adalah undangan
agar masyarakat mengentahui dan mengamati serta memberikan diri sebagai saksi
atas apa yang terjadi dalam proses membagi jambar. Dengan kata lain,
teriakan itu adalah wujud dari transparansi. Dalam pemerintahan, hal ini harus
mendapat penekanan lebih. Transparansi tidak boleh diabaikan. Semua masyarakat
harus menjadi subjek dalam pemerintahan. Subjek berarti dia yang aktif dan partisipatif
dalam proses berjalannya sistem pemerintahan. Dengan demikian, tidak adalagi
aktifitas yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi (padalan jambar di na homi).
Bukankan korupsi adalah pekerjaan yang dilakukan secara tersembunyi? Dengan
kata lain, sembunyi-sembunyi berarti adanya korupsi.
Kontribusi ketiga termanifestasi dalam
aktifitas padalan jambar secara keseluruhan. Keyakinan bahwa Adat itu
berasal dari Allah Tinggi menjadikan orang Batak mampu melihat ini sebagai
aktifitas kudus. Cara pandang ini dapat memberikan penegasan kepada aktifitas
distribusi sumber daya dalam ranah pemerintahan. Seorang pemerintah adalah
seorang utusan Allah Tinggi untuk menjamin kebaikan rakyat. Hal ini dipastikan
dalam proses pemilu atau pengangkatan seorang pejabat pemerintahan. Dengan
demikian, patik dan uhum yang harus dijalankan oleh pejabat
pemerintah adalah perintah dari Allah Tinggi. Pendasaran ini menjadi konfirmasi
bahwa aktifitas distribusi sumber daya, kuasa dan lainnya harus dilakukan atas
dasar kekudusan. Pejabat adalah utusan Allah untuk memberikan kebaikan kepada
manusia (rakyat) yang dipimpinnya. Jadi, aktifitas pemerintah merupakan
aktifitas kekudusan. Semoga.
Artikel ini pernah diikutkan di Lomba Karya Ilmiah yang diadakan oleh globethich.net. Dalam lomba tersebut, artikel ini mendapat kesempatan menduduki Juara I.
Daftar Pustaka
Buku:
Hamzah, A., Korupsi: Dalam Pengelolaan
Proyek Pembangunan. (Jakarta: Akademika Pressindo, 1985).
Haryatmoko, Johannes, Dominasi Penuh
Muslihat: akar kekerasan dan diskriminasi, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2010).
Klitgaard, Robert, Membasmi Korupsi, (Jakarta: Yayasan Obor,
1998).
Levinas, Emmanuel., Responsibility for
the others, dalam Ethics and Infinity (Duquesne University Press, 1985).
Nainggolan, Dr. Togar., Batak Toba:
sejarah dan transformasi religi, (Medan: Bina Media Perintis. 2012).
Noonan,
John T. Jr., Bribes (Berkeley: University of Califomia Press, 1984).
Pope, Jeremi Strategi memberantas
Korupsi: elemen sistem integritas nasional, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2003).
Pranoto, Suhartono W. Bandit Berdasi:
korupsi berjamaah, (Yogyakarta: Kanisius 2008).
Ryan, Leo
V. Combating Corruption: The 21st-Century Ethical Challenge, (Business Ethics Quarterly, Vol. 10, No. 1, Globalization and the
Ethics of Business, Jan.,
2000).
Saenong, Ilham
B., 7 tahun melawan korupsi: kisah sukses masyarakat sipil (Transparency
International Indonesia, 2013).
Sinaga, Dr. Anicetus B., Allah Tinggi
Batak-Toba: transendensi dan Imanensi, (Yogyakarta: Kanisius, 2014).
-------, Dr. Anicetus B., Batak Dahulu
Sekarang Akan Datang (2009)
Sitompul,
AA., Manusia dan
Budaya: Teologi Antropologi (Jakarta:
BPK Gunung Mulia. 2000).[1]
Vargas-Hernández, José G. The Multiple
Faces Of Corruption: Typology, Forms And Levels, dalam Organizational Immunity to
Corruption: Building Theoretical and Research Foundations, diedit oleh Agata
Stachowicz-Stanusch, (Charlotte, NC: Information Age Publising, Inc, 2010).
Internet:
Darmapoetra, Juma. Counter Culture dalam
Menumpas Bandit Berdasi, http://www.jurnalnet.com/konten.php?nama=Popular&topik=10&id=178 (Diakses, Rabu, 30 April 2014, pkl 04.19
WIB).
[1]
Penulis adalah peniti.
Lulusan Mahasiswa Pascasarjana Universitas Gadjah
Mada (UGM) pada tahun 2014 dari Program Studi Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS),
Bart-2012.
[2]
Dalam tesis ini, penulis
menolak adanya istilah “Budaya korupsi”. Budaya in se selalu bertujuan
untuk kebaikan bersama. Ketika ada unsur dalam budaya yang merugikan bonum
communae, itu harus dirubah. Dengan kata lain, unsur yang bersifat koruptif
tidak boleh dengan serta merta mengatakan bahwa budaya itu koruptif. Jadi,
istilah budaya korupsi tidak logis karena inter-kontradiktif.
[3]
Leo V.
Ryan, Combating Corruption: The 21st-Century
Ethical Challenge,
(Business Ethics Quarterly, Vol. 10,
No. 1, Globalization and the Ethics of Business, Jan., 2000), hlm 331-338
[4]
John T. Noonan, Jr., Bribes (Berkeley: University of Califomia Press,
1984), hlm. xx.
[5]
A. Hamzah, Korupsi: Dalam
Pengelolaan Proyek Pembangunan. (Jakarta: Akademika Pressindo, 1985), hlm
2-3.
[6]
José G. Vargas-Hernández, The
Multiple Faces Of Corruption: Typology, Forms And Levels, dalam Organizational Immunity to Corruption: Building
Theoretical and Research Foundations, diedit oleh Agata Stachowicz-Stanusch,
(Charlotte, NC: Information Age Publising, Inc, 2010), hlm. 132.
[7]
Jeremi Pope, Strategi
memberantas Korupsi: elemen sistem integritas nasional, (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2003). hlm 3.
[9]
Suhartono W. Pranoto, Bandit
Berdasi: korupsi berjamaah, (Yogyakarta: Kanisius 2008) hlm.i.
[10]
Bdk, Juma Darmapoetra, Counter
Culture dalam Menumpas Bandit Berdasi, http://www.jurnalnet.com/konten.php?nama=Popular&topik=10&id=178 (Diakses, Rabu, 30 April 2014, pkl
04.19 WIB).
[11]
Johannes Haryatmoko, Dominasi
Penuh Muslihat: akar kekerasan dan diskriminasi, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2010), hlm. 60.
[12]
www.BatakToba.com
[13]
AA. Sitompul, Manusia dan Budaya: Teologi Antropologi (Jakarta:
BPK Gunung Mulia. 2000) hlm.338-341.
[14]
Bagi orang Batak, adat yang
termanifestasi dalam perintah dan hukum bersala dari Tuhan. Sinaga mencatatat
pendapat L. Schreiner yang mengatakan bahwa hubungan antara Tuhan dan Adat
bersifat primer. “Bagaimanapun juga, Adat telah ada pada Allah Tinggi sejak
awal mula, umurnya sama dengan Allah Tinggi, dan berasal dari Alah Tinggi.
Allah Tinggi telah menyalurkan Adat kepada ciptaannya sebagai ‘perintah dan
hukum’. … Dalam arti penyerahan adikodrati, puncak kuasa dan sanksi dari
‘perintah dan hukum’ adalah Adat, bukan hanya dalam arti asal agama, melainkan
sebagai kepenuhan agama sendiri, yang menentukan hidup atau mati, menjadi
landasan kebatakan (1972:183dst.). Dr. Anicetus B. Sinaga, Allah Tinggi
Batak-Toba: transendensi dan Imanensi, (Yogyakarta: Kanisius, 2014),
hlm.106.
[15]
Mangalap ari berarti rapat antara beberapa raja
seperti raja adat, raja hasuhuton, raja huta untuk membicarakan segala hal
ikhwal acara adat. Satu hal penting yang dibicarakan adalah mengenai pembagian
jambar. Dan, jika salah satu pihak berasal dari daerah lain, maka aturan yang
berlaku di daerah tempat pelaksanaan upacara yang harus diikuti.
[16]
Protokol dalam pesta adalah
orang yang ditunjuk dari pihak si pemilik pesta untuk membagikan jambar sesuai
dengan kesepakatan. Parhobas adalah sekelompok orang yang ditunjuk untuk
menjadi pelayan pesta.
[17]
A. Simbolon adalah seorang
pelaku adat yang sering ikut dalam upacara adat Batak Toba khususnya di Daerah
Pakkat, Humbang Hasundutan, Sumatera Utara. Beliau juga termasuk raja hata (orang
yang sering diundang untuk berbicara di dalam pesta). Informasi ini didapatkan
melalui wawancara langsung, Sabtu, 29 Maret 2014 di desa Siambaton Pahae,
Pakkat, Humbang Hasundutan, Sumatera Utara.
[18]
Kasus-kasus ini diceritakan
oleh A. Simbolon untuk memperjelas proses acara padalan jambar.
[19]
Dr. Togar Nainggolan, Batak
Toba: sejarah dan transformasi religi, (Medan: Bina Media Perintis. 2012),
hlm v.
[20]
Ilham B. Saenong, 7 tahun melawan korupsi: kisah
sukses masyarakat sipil (Transparency
International Indonesia,
2013). Hlm 22.
[21]
Sinaga, Batak Dahulu
Sekarang Akan Datang (2009)
[22]
Levinas, Responsibility for
the others, dalam Ethics and Infinity, (Duquesne University Press, 1985).
Hlm 98.
Langganan:
Postingan (Atom)